"Aku tak tahu ini cinta atau apa, yang pasti aku masih lega karena dia masih ada di dekatku meski aku tak tahu dia itu ibuku atau bukan...."AKU terhentak-hentak dalam gendongan ibuku yang berlari-larian mengejar bus itu, panas sekali siang ini, peluh membasahi kaos dan topi peciku yang aku rasa kan mulai gatal ini. ibuku berhenti berlari bus itu melaju kencang, tak terkejar, hanya meninggalkan kepulan asap hitam yang menghantam wajahku, membuat mataku perih. Ibuku berdiri terengah engah, keringat di kulit lehernya yang berkilat jelas sekali dalam pandangan mataku, yang tepat berada di depan lehernya itu. Dalam pelukan ibuku yang erat ini aku tak mengerti mengapa aku selalu dibawanya berlarian mengejar bus-bus besar yang kotor, pengap, bising dan mengakrabi sesaknya penumpang, setiap hari.
Belum selesai juga, lagi... sebuah bus datang, aku kembali terhentak dalam gendongan ibuku yang berlari kencang, sungguh ini sama sekali tidak nyaman. Aku dibawanya melompat masuk ke dalam bus dan menyeruak diantara para penumpang yang berdiri, aku merasakan sepertinya mereka sedikit risih dengan kehadiran kami di tengah mereka.
Dan mulailah seperti biasa, ibuku memainkan sebuah benda di tangannya, benda ini aku tak tahu namanya, sebuah kayu kecil dengan beberapa bekas tutup botol yang dipaku di kayu itu, yang pasti ketika digerak-gerakkan akan mengeluarkan suara yang sejujurnya menurutku sama sekali tidak merdu dan sama sekali tanpa sentuhan harmoni sedikitpun pada komposisi ritmenya.
Tapi bagaimanapun juga benda itulah yang menjelma menjadi orkestra ajaib yang mengiringi ibuku bernyanyi, tanpa bosan meski selalu hanya lagu itu yang didendangkannya.
Ah akhirnya selesai juga ibuku bernyanyi, dan kini tibalah giliranku melakukan tugasku, ya... jangan dikira aku tidak punya job desk di sini, aku juga berperan, dan sepertinya efek dari peranku ini jauh lebih besar dari apa yang dilakukan ibuku tadi, meski tugasku hanya menyusuri bus dari depan ke belakang dalam gendongan ibuku sambil membawa plastik kumal seukuran 20x15 cm bekas bungkus permen Kopiko, tapi dengan itulah orang orang memasukkan uangnya kedalam plastik itu, satu yang aku yakin bahwa mereka memasukkan uangnya bukan karena menghargai suara ibuku yang bernyanyi tadi, tapi aku yakin sekali para penumpang memberikan uangnya karena diriku ini, mereka berempati kepadaku,seorang anak kecil yang belum genap berusia tujuh tahun dengan tubuh kurus, kotor dan yang jelas mereka iba dengan kondisiku yang tidak seperti anak seusiaku pada umumnya... orang bilang aku ini menderita autisme sindroma rett, atau semacam itu.
Aku tak mengerti itu, karena menurutku aku biasa-biasa saja, tidak merasakan sesuatu yang aneh dan kurang dibanding anak-anak lain, setidaknya itu yang aku rasakan. Okelah, memang untuk anak seusiaku seharusnya aku sudah lancar berbicara, tertawa, bernyanyi dan kuakui aku belum mampu melakukan itu, setidaknya sampai detik ini. Tapi aku merasa baik-baik saja kok. Selain itu, seharusnya di usiaku ini aku sudah bisa berlari-larian kemana-mana, dan sekali lagi kuakui aku memang belum bisa melakukan itu, lagi-lagi setidaknya sampai saat ini.
Tetapi dengan keadaanku yang seperti ini nyatanya aku bisa memperoleh uang yang lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak seusiaku yang lain, mereka bisa berlarian sendiri meloncat dari satu bus ke bus lain, menghampiri setiap kendaraan di perempatan lampu merah tanpa perlu digendong ibunya seperti aku, dengan kemandirian mereka itu nyatanya mereka tetap selalu kalah jauh pendapatannya dibandingkan dengan pendapatanku. Dan sekali lagi aku tak tahu kenapa bisa begitu, aku tak tahu apakah keadaanku sekarang ini adalah kelebihanku atau kekuranganku....
Tapi sepertinya dengan keadanku ini banyak orang yang mengasihani aku dan ini nyata-nyata telah banyak memberikan keuntungan berlebih pada ku dan ibuku, tapi satu pertanyaanku lagi yang belum kutemukan jawabannya, yaitu... mengapa aku harus dikasihani? Jika memang aku harus dikasihani mengapa anak-anak yang lain tidak? Mengapa aku dianggap berbeda? Tapi sekali lagi, dengan keadaanku yang seperti ini aku sungguh merasa tidak perlu dikasihani, aku merasa baik-baik saja kok, bukankah aku tidak terlalu berbeda dengan yang lain? Sebenarnya ada apa sih denganku?
Selalu setiap saat aku hanya bisa bertanya kepada diriku sendiri di dalam hati, ya dalam hati saja aku bisa mengungkapkan semua hal yang ada dalam pikiranku karena aku tidak tahu bagaimana caranya mengkonversi buah pikiranku menjadi susunan kalimat yang lalu akan kukeluarkan menjadi suara dari mulutku ini sehingga bisa dipahami oleh orang lain, aku tak tahu bagaimana caranya berbicara seperti orang-orang pada umumnya, setidaknya sampai detik ini. Dan karenanya pula aku juga belum bisa mengatakan sebuah pertanyaan penting kepada wanita berpeluh yang selalu menggendongku ini, untuk memastikan apakah dia benar-benar ibuku....
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Have a nice day.....but don't ever forget to take a look around
.......there's must be somebody or something needs you.....
.......let's check it out.
.......there's must be somebody or something needs you.....
.......let's check it out.
Showing posts with label nyata-nyata ada. Show all posts
Showing posts with label nyata-nyata ada. Show all posts
Thursday, February 25, 2010
Aku, Bus Penuh Sesak dan Wanita Berpeluh Ini
Labels:
catatan perjalanan,
nyata-nyata ada
Wednesday, February 17, 2010
Kekerasan Psikis : Luka Kecil di Hati si Kecil Meski Tak Tampak Tapi Menyakitkan
Banyak anak yang malah merasa senang dan nyaman ketika orang tuanya tidak berada di rumah....
Banyak orangtua yang menilai anak-anak zaman sekarang sudah tidak memiliki tata krama dan rasa hormat kepada orangtua-nya, mungkin sebaiknya para orangtua itu menilik kembali bagaimana intensitas hubungannya dengan anak-anaknya, pola asuh, pencontohan sikap dan pembangunan karakter anak sejak kecil.
Banyak orangtua yang menilai anak-anak zaman sekarang sudah tidak memiliki tata krama dan rasa hormat kepada orangtua-nya, mungkin sebaiknya para orangtua itu menilik kembali bagaimana intensitas hubungannya dengan anak-anaknya, pola asuh, pencontohan sikap dan pembangunan karakter anak sejak kecil.
"MAH, bacain ini mah" Sore itu Sisi (4 tahun) merengek pada minta dibacakan buku cerita kepada mamanya. Mamanya baru turun dari mobil, pulang dari kantor dan tampak suntuk dan kelelahan menolak permintaan Sisi.
"Nanti malam saja ya sayang, mama mau istirahat dulu".
"Nggak mau, nggak mau, sekarang..." Sisi terus merengek sambil menarik-narik rok mamanya yang sedang merebahkan diri di sofa. Sisi terus merengek, dan sang mama diam saja tidak menjawab. Sisi tetap tidak berhenti merengek, hingga mamanya berteriak keras, " Sisi..!! bisa diam tidak!! Mama jewer kamu nanti, mama lagi pusing, sana sama bibi, denger nggak mama bilang apa...sana...!!"
Sangat wajar emosi memuncak ketika hati sedang tidak nyaman, pikiran suntuk, stres beban pekerjaan dan capek, masih ditambah lagi dipancing oleh rengekan anak yang membikin tambah pening. Sisi memang salah, tapi bagaimanapun dia adalah balita yang belum bisa melihat realita. Sisi mungkin kemudian menurut dan diam tapi kita tidak pernah tau ada apa dibalik pikiran dan hatinya ketika itu. Anak bisa menyimpan dendam dan rekaman kejadian dalam alam bawah sadarnya, dan akumulasinya akan bermuara pada karakter, sikap, dan cara menyelesaikan masalah secara tidak tepat.
Yang perlu diperhatikan juga adalah kebiasaan dan cara pembantu, pengasuh atau baby sitter di rumah ketika orang tua sedang tidak berada di rumah, terutama para pengasuh yang kurang berpengalaman dan tidak mendapat pelatihan yang baik, sering memakai kata-kata bernada tinggi dan gertakan atau gerutuan ketika telah kehabisan cara dalam menghadapi anak yang rewel dan merengek atau ketika anak tidak berhenti menangis.
"Tapi aku nggak suka main piano yah..." Vino (11 tahun) memprotes keputusan ayahnya yang tiba-tiba telah mendaftarkannya ke sebuah les piano. "Vino, sini, dengarkan ayah, les piano bagus untuk Vino, anak-anak teman ayah juga banyak yang ikut les piano, dan mereka sekarang sudah bisa ikut festifal kemana-mana, ayah mau Vino seperti itu ya, ayah nggak mau dengar lagi, pokoknya Vino harus mau", kata ayah Vino memberi alasan.
"Tapi Vino kan sudah pernah bilang ke ayah, Vino kan pengen kursus karate yah... "
"Buat apa karate karate segala, nggak perlu itu"
"Tapi yah, aku nggak mau.."
"Vino!!..!, ayah sudah ambil keputusan, pokoknya tiap Selasa dan Kamis sore ayah akan antar kamu ke les piano, titik."
Setiap anak memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan keputusan yang menyangkut dirinya. Meski anak-anak adalah manusia baru, tetapi di sisi lain itu bukan berarti mereka tidak tahu apa-apa, mereka juga membutuhkan ekspresi pemikiran dan penyampaian pendapat. Anak-anak secara alamiah memiliki keinginan sendiri dalam hidupnya, mereka memiliki hidup dan dunianya. Sayangnya tanpa sadar kita sering menginginknan anak-anak menjadi apa yang kita mau karena ego kita, gengsi kita ketika melihat anak teman bisa melakukan banyak hal, dan berprestasi. Kita sering terjebak keinginan dan impian sendiri, dan celakanya lagi tanpa disadari anak kita menjadi sarana pemuas pencapaian keinginan kita demi kebanggaan dan gengsi.
Kalaupun mungkin keinginan anak tersebut benar-benar tidak tepat atau membahayakan dirinya maka bukan sebuah gertakan dan pemaksaan yang menjadi jawabannya. Anak yang pendiam, pemurung adalah indikasi kekerasan psikis yang berhubungan dengan emosi ini, pada tingkat yang lebih jauh anak akan menjadi seorang pemberontak bahkan demonstrator yaitu selalu menunjukkan penolakan dan konta pendapat dengan orang tuanya dalam rangka menunjukkan protes. Tapi bukannya simpatik yang didapat si anak, yang ada anak malah semakin berada dalam posisi dipersalahkan dan dianggap bandel. Kebanyakan orang tua tidak menyadari bahwa sikap memberontak anaknya itu adalah rangkaian dari kekecewaannya yang terdahulu.
Boni (8 tahun) dimarahi habis-habisan oleh ayahnya karena memecahkan vas bunga saat dia bermain bola di ruang tamu, begitu ayahnya tahu, tanpa dialog pembuka terlebih dahulu, , langsung saja berbagai kata kasar keluar dari emosi sang ayah. Boni hanya diam dan tertunduk, tapi tahukah sang ayah apa yang ada dalam pikiran Boni ketika dia tertunduk? Ketakutankah? Rasa dendamkah? Kebingungankah?
Lalu pelajaran apa yang didapat dari omelan itu, akankah mereka kemudian akan berbuat sopan dan disiplin? Ya, tapi disiplin yang muncul adalah disiplin karena rasa takut, bukan disiplin karena kesadaran dan pemahaman. Suatu ketika mereka berbuat kesalahan lagi dan tanpa adanya saksi yang melihat akankah mereka akan berani mengakui kesalahnnya?
"Aduh gimana nih aku nggak sengaja mecahin guci, aduh sebaiknya aku ngaku nggak ya? bilang nggak ya? ketahuan nggak ya? eemmm...dulu aja cuma mecahin vas dimarah-marahinin dan dihukum ayah sampai berhari-hari, ah mending diem aja ah, ngapain juga mengaku, ntar aku dimarahin lagi, biarin aja ah..." Itu adalah apa yang ada dalam pikiran Boni atau anak-anak lain sebagai efek trauma hukuman yang tidak tepat. Mereka akan belajar berbohong demi menyelamatkan diri, dan inilah pelajaran yang mereka petik itu, sebuah pelajaran yang sangat beresiko tinggi jika kelak terbawa hingga dewasa.
Anak-anak adalah manusia baru, jika mereka berbuat kesalahan bukan berarti mereka bodoh, tolol, atau tak tahu diri. Mereka butuh bimbingan untuk memilih cara yang tepat dalam menyelesaikan masalah. Berdialaog baik-baik, tentu dialog ini disesuaikan dengan usia anak, duduk bersama dan biarkan anak-anak menceritakan kejadian atau kesalahan yang baru dilakukannya. Poin pentingnya adalah hargai dan beri pujian ketika anak bisa menceritakan kesalahannya, besarkan hatinya ketika anak mau mengakui kesalahan, lalu stop mengungkit ungkit kesalahan anak yang sudah berlalu. Berikan konsekuensi yang tepat, mendidik serta tetap menempatkan anak dalam posisi yang terhormat, maksudnya bahwa konsekuensi atau hukuman yang diberikan jangan sampai menjatuhkan mental dan kepercayaan diri anak, seperti disuruh berdiri di halaman rumah, dikunci di luar rumah atau hukuman lain dengan cara yang memalukan. Bahkan hingga saat ini, di sekolah pun masih banyak penerapan hukuman yang membuat anak tersiksa secara psikis, dijemur di bawah terik matahari atau membersihkan kamar mandi, ketika dia tahu teman-temannya melihat dia dihukum dan teman-temannya pun menertawakannya maka hukuman itu akan menjadi luka hati yang parah dan berbekas dalam waktu lama.
Luka hati yang membekas lama juga sering dialami oleh anak yang sering dibanding-bandingkan dengan sepupu atau anak tetangga yang kebetulan berprestasi lebih bagus. " Tuh kan Alya aja selalu dapat rangking satu terus, kamu ini selalu bikin ibu malu, nilai apaan ini rangking sepuluh besar aja nggak pernah bisa, ah memang dasar kamu itu...." Demikian kalimat yang selalu di dengar Ani (12 tahun), kalimat yang selalu muncul dari mulut ibunya setiap kali penerimaan raport dan membandingkannya dengan Alya teman sekelasnya yang kebetulan rumahnya juga berdekatan.
Ani memang sedikit lambat dalam memahami pelajaran, bukan karena tidak mau belajar, tapi kemampuannya memang sebatas itu. Banyak anak yang seperti Ani, sedikit kurang beruntung karena kemampuan otak yang memang berbeda-beda pada tiap manusia, banyak faktor yang mempengaruhi, seperti gizi atau bisa jadi adalah kekurangan yang merupakan bawaan sejak lahir. Anak yang merasa gagal sebenarnya sudah tertekan dengan kegagalannya sendiri tapi masih ditambah lagi dengan penjatuhan mental yang merupakan pelapiasan kekecewaan dari orang tuanya, dengan penyebutan atau labelling misalnya dengan kata dasar malas atau anak bodoh. Labelling hanya akan menyebabkan perilaku dan sikap yang lebih parah, labelling bisa menimbulkan anggapan kepalang tanggung atau terlanjur basah, "toh aku sudah dijuluki anak bodoh ngapain juga aku belajar kan sama saja." Belum lagi timbul perasaan dendam dan kebencian yang tidak disadari tumbuh perlahan terhadap anak yang selalu dijadikan bahan perbandingan dengan dirinya. Ani tanpa sadar bisa menaruh kebencian kepada Alya, padahal Alya tidak bersalah.
Kemudian yang perlu selalu dipahami bahwa kita harus melihat anak dengan perspektif Multiple Intelligences, setiap anak selalu memiliki potensi kecerdasan masing-masing, termasuk di dalamnya antara lain kecerdasan musikal, spasial, interpersonal maupun intrapersonal. Multiple Intelligences ini sama sekali tidak diukur hanya sebatas melalui nilai raport.
Anak butuh support, dan bentuk support yang paling sederhana tapi membuat anak memiliki rasa percaya diri adalah pujian dan reward. Jangan pelit memberikan pujian kepada anak, sekalipun pencapaiannya belum maksimal, tapi berikan pujian atas usahanya. Lalu reward atau hadiah adalah sangat penting bagi anak, tentu disesuaikan sebatas pencapaiannya. Berbicara mengenai reward, kita sering lupa bahwa kebutuhan anak adalah disayangi dan wujud rasa sayang itu, bisa berupa pelukan, ciuman sayang, dan belaianpun bisa menjadi hadiah yang sangat berkesan bagi anak.
Kekerasan psikis tidak banyak kita sadari telah kita lakukan pada anak-anak kita, anak didik ataupun anak-anak disekitar kita. Sekali lagi harus dipahami anak adalah manusia baru yang masih belum banyak tahu apa-apa didalam kehidupannya, hal ini jarang disadari dan membuat kita terlalu berlebihan ketika mereka berbuat kesalahan. Anak anak belajar dari dunia di sekelilingnya, meniru, ikut-ikutan dan menjiplak apa yang dilihat dan didengarnya. Anak-anak betindak hanya berdasakan kesenangan, dan memang seperti itulah dunia anak-anak. (also published at www.eccd-rc.blogspot.com).
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Monday, October 5, 2009
Kesulitan....
klik di sini untuk melihat video di atas melalui youtube
GAMBARAN sederhananya barangkali seperti dalam sketsa video itu ya, kita sering menggerutu, marah, sampai memaki-maki, jika ada sesuatu kesulitan yg menghambat. Padahal hambatan atau kesulitan itulah yang suatu saat ternyata malah akan menyelamatkan kita.
Atau bahkan lebih dari itu, karena pada beberapa orang yang luar biasa, sebuah hambatan bisa menjadi prestasi yang mengagumkan, seperti apa yang telah dilakukan orang-orang luar biasa dalam sketsa video berikut....
Atau bahkan lebih dari itu, karena pada beberapa orang yang luar biasa, sebuah hambatan bisa menjadi prestasi yang mengagumkan, seperti apa yang telah dilakukan orang-orang luar biasa dalam sketsa video berikut....
klik di sini untuk melihat video di atas melalui youtube
Sungguh, benar-benar luar biasa sekali ya....
Mungkin sketsa video tersebut tidak terlalu asing lagi bagi kita, dan berkali-kali pula di berbagai kesempatan menyaksikan itu, termasuk saya. Tetapi semakin sering menyaksikannya, semakin saya sendiri tidak tahu harus bagaimana menyikapinya, harus tersenyum kagum atau menangis....
Mungkin sketsa video tersebut tidak terlalu asing lagi bagi kita, dan berkali-kali pula di berbagai kesempatan menyaksikan itu, termasuk saya. Tetapi semakin sering menyaksikannya, semakin saya sendiri tidak tahu harus bagaimana menyikapinya, harus tersenyum kagum atau menangis....
Saturday, September 12, 2009
Thank You Malaysia....
LAGI rame nih ngomongin Malaysia, klaim sana klaim sini, caplok ini caplok itu. Saya tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran orang-orang Malaysia atau mungkin oknum Malaysia yang mau main-main dengan hak milik atau lebih tepatnya sesuatu yang sejak turun temurun berada di Indonesia, apa misinya, apa tujuan nya dan berbagai hal dibalik kembali cederanya hubungan Indonesia-Malaysia. Nah, karena ketidak mengertian saya itulah maka tidak sepantasnya saya berpikir negatif dulu terhadap Malaysia, sebuah negara yang tidak terlalu saya kenal. Yah setidaknya sampai saya bisa benar-benar menghilangkan pikiran negatif saya selama ini terhadap sebuah negara yang sudah hampir seperempat abad lebih saya kenal, Indonesia.
Tampak sekali nasionalisme bangsa Indonesia meletup-letup ketika sesuatu yang merasa miliknya disinggung, lewat dialog dan diskusi akademis, slogan, demonstrasi, protes jalanan, surat terbuka, diplomasi kenegaraan, pengumpulan dukungan melalui jejaring sosial, hingga siap sedia melancarkan perang. Nasionalisme? apa bukannya lebih tepat jika disebut fanatisme ya? bukankah bangsa kita ini memang memiliki budaya fanatik terhadap apa yang dia rasa sebagai miliknya. Lalu apa bedanya nasionalisme dengan fanatisme?
Menurut saya fanatisme bangsa indonesia memang bersumbu pendek-- lihat persepak bolaan kita, perang antar kampung, sekolah, atau lihat kejadian di solo, konflik ambon, kalimantan, sedikit saja dipancing maka tidak butuh waktu lama, emosi akan meledak, dan ledakan emosi ini adalah kumpulan amarah rasa frustasi dan lain lain yang telah tersimpan lama, karena kemiskinan, masalah keluarga, stress dan lain-lain yang mendapatkan pelampiasan langsung.
Salah satu media massa tertua di Indonesia memuat berita sebuah unjuk rasa berlabel Ganyang Malaysia, di sebuah kota di Jawa Tengah bubar, hanya karena hujan gerimis turun, beberapa aksi menarik yang telah diagendakan batal dan aksi yang sedianya berlangsung menggebu-gebu itu hanya tinggal menyisakan dua orang saja. Lalu yang namanya nasionalisme itu seperti apa? Terlepas dari apresiasi, kekaguman dan rasa hormat saya yang setinggi-tingginya terhadap para pahlawan pejuang kemerdekaan, tapi diluar itu saya sendiri pun masih sering bertanya dalam hati, apakah saya punya nasionalisme terhadap Indonesia?
Lalu jika terus menghujat Malaysia, dan ketika kemudian Malaysia meminta maaf, melakukan klarifikasi tingkat global, bahkan mungkin memberikan kompensasi kerugian, apakah lalu kita akan menyaksikan dengan bangga sajian Tari Pendet, melestarikan Reog, atau lebih dalam lagi seperti belajar membatik misalnya.
Apakah dulu sebelum ada klaim Malaysia kita membicarakan Reog dan Tari Pendet seheboh ini? Lebih dari itu sekarang pun kita sudah hampir melupakan perkembangan blok minyak ambalat, belum lagi kita benar-benar tidak pernah membicarakan keadaan saudara-saudara kita yang telah hidup turun temurun di wilayah-wilayah perbatasan, yaitu di pulau-pulau terluar Indonesia.
Perlukah membicarakan pulau Sebatik lagi? Mungkin itu adalah cerita lama, dimana rahasia umum bahwa warga negara Indonesia di Sebatik lebih merasa nyaman beraktifitas di Malaysia. Bahkan muncul pula sebutan ibu pertiwi dan bapak pertiwi di sana, mana yang ibu mana yang bapak, Indonesia atau Malaysia? Sepertinya tidak terlalu penting untuk dibahas disini sekarang.
Sedikit untuk penyegaran, beberapa kilometer ke timur kita akan menjumpai Pulau Mianggas yang masuk ke kabupaten Talaud, Sulawesi utara. Coba cek, ambil secara acak sepuluh orang saja warga Mianggas dan tengok isi dompetnya, hampir dipastikan ada mata uang Peso didalamnya, bahkan mungkin mereka sama sekali tidak membawa Rupiah. Sebenarnya wajar saja, karena jarak Mianggas dengan Filipina lebih dekat daripada dengan Pulau Sulawesi. Beberapa bendera Filipina pun dikabarkan bebas berkibar disana, uniknya salah satu alasan pengibaran bendera itu adalah sebagai upaya untuk memancing perhatian pemerintah Indonesia agar memperhatikan mereka, tapi ternyata upaya meraka itu mungkin belum cukup.
Kita melompat lagi ke terus ke timur, dan ada pulau Bepondi di sana, termasuk wilayah kabupaten Biak. Lebih kurang 530-an jiwa tinggal di pulau itu seluas 2,5 km2 itu. Kesejahteraan warganya? hmm.. jangan kan warga Pulau Bepondi, warga Papua yang pulaunya jelas-jelas selalu tercetak di peta dunia saja masih banyak yang tidak tersentuh pelayanan pendidikan dan kesehatan, apalagi warga pulau kecil Bepondi ini.
Belum lagi kalau kita membicarakan gugusan Pulau Mapia, wilayah Kabupaten Supiori, masih di Papua. Ini dia wilayah negara kita yang sangat berprospek untuk dicaplok negara lain, potensi Mapia sangat bagus untuk di bidang periakanan, pertanian dan perkebunan. Gugusan pulau yang unik menjadi daya tarik eksotis wisata petualangan dan wisata bawah laut karena keindahan biota laut yang masih belum banyak terjamah. Saya yakin beberapa negara asing yang berbatasan langsung dengan pulau ini, seperti Filipina, Papua Nugini bahkan negara kecil Republik Palau pun sepertinya telah meneteskan air liur ingin mengakui pulau ini, prospektif sekali. Saya yakin Indonesia juga sudah sejak lama menyadari prospek luar biasa wilayah ini, tapi apakah cukup hanya menyadari saja?
Lalu tanyakan kepada kesemua penduduk yang tinggal di pulau-pulau terluar itu, apakah mereka bangga menjadi warga negara Indonesia?
Atau, andai saja Pendet dan Reog bisa bicara, mungkin akan lebih jelas bagi kita semua untuk mengetahui apakah mereka berdua lebih merasa nyaman berstatus sebagai budaya Indonesia atau berstatus sebagai bagian pariwisata Malaysia.
Sekali lagi, thank you Malaysia, mungkin kalau kamu tidak berbuat curang dan berkelakuan tidak fair seperti sekarang ini, negaraku tercinta ini tidak akan serius menjaga diri, tidak akan sibuk mengamankan diri, dan akan terus meremehkan arti pentingnya kewaspadaan dan kepedulian.
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Tampak sekali nasionalisme bangsa Indonesia meletup-letup ketika sesuatu yang merasa miliknya disinggung, lewat dialog dan diskusi akademis, slogan, demonstrasi, protes jalanan, surat terbuka, diplomasi kenegaraan, pengumpulan dukungan melalui jejaring sosial, hingga siap sedia melancarkan perang. Nasionalisme? apa bukannya lebih tepat jika disebut fanatisme ya? bukankah bangsa kita ini memang memiliki budaya fanatik terhadap apa yang dia rasa sebagai miliknya. Lalu apa bedanya nasionalisme dengan fanatisme?
Menurut saya fanatisme bangsa indonesia memang bersumbu pendek-- lihat persepak bolaan kita, perang antar kampung, sekolah, atau lihat kejadian di solo, konflik ambon, kalimantan, sedikit saja dipancing maka tidak butuh waktu lama, emosi akan meledak, dan ledakan emosi ini adalah kumpulan amarah rasa frustasi dan lain lain yang telah tersimpan lama, karena kemiskinan, masalah keluarga, stress dan lain-lain yang mendapatkan pelampiasan langsung.
Salah satu media massa tertua di Indonesia memuat berita sebuah unjuk rasa berlabel Ganyang Malaysia, di sebuah kota di Jawa Tengah bubar, hanya karena hujan gerimis turun, beberapa aksi menarik yang telah diagendakan batal dan aksi yang sedianya berlangsung menggebu-gebu itu hanya tinggal menyisakan dua orang saja. Lalu yang namanya nasionalisme itu seperti apa? Terlepas dari apresiasi, kekaguman dan rasa hormat saya yang setinggi-tingginya terhadap para pahlawan pejuang kemerdekaan, tapi diluar itu saya sendiri pun masih sering bertanya dalam hati, apakah saya punya nasionalisme terhadap Indonesia?
Lalu jika terus menghujat Malaysia, dan ketika kemudian Malaysia meminta maaf, melakukan klarifikasi tingkat global, bahkan mungkin memberikan kompensasi kerugian, apakah lalu kita akan menyaksikan dengan bangga sajian Tari Pendet, melestarikan Reog, atau lebih dalam lagi seperti belajar membatik misalnya.
Apakah dulu sebelum ada klaim Malaysia kita membicarakan Reog dan Tari Pendet seheboh ini? Lebih dari itu sekarang pun kita sudah hampir melupakan perkembangan blok minyak ambalat, belum lagi kita benar-benar tidak pernah membicarakan keadaan saudara-saudara kita yang telah hidup turun temurun di wilayah-wilayah perbatasan, yaitu di pulau-pulau terluar Indonesia.
Perlukah membicarakan pulau Sebatik lagi? Mungkin itu adalah cerita lama, dimana rahasia umum bahwa warga negara Indonesia di Sebatik lebih merasa nyaman beraktifitas di Malaysia. Bahkan muncul pula sebutan ibu pertiwi dan bapak pertiwi di sana, mana yang ibu mana yang bapak, Indonesia atau Malaysia? Sepertinya tidak terlalu penting untuk dibahas disini sekarang.
Sedikit untuk penyegaran, beberapa kilometer ke timur kita akan menjumpai Pulau Mianggas yang masuk ke kabupaten Talaud, Sulawesi utara. Coba cek, ambil secara acak sepuluh orang saja warga Mianggas dan tengok isi dompetnya, hampir dipastikan ada mata uang Peso didalamnya, bahkan mungkin mereka sama sekali tidak membawa Rupiah. Sebenarnya wajar saja, karena jarak Mianggas dengan Filipina lebih dekat daripada dengan Pulau Sulawesi. Beberapa bendera Filipina pun dikabarkan bebas berkibar disana, uniknya salah satu alasan pengibaran bendera itu adalah sebagai upaya untuk memancing perhatian pemerintah Indonesia agar memperhatikan mereka, tapi ternyata upaya meraka itu mungkin belum cukup.
Kita melompat lagi ke terus ke timur, dan ada pulau Bepondi di sana, termasuk wilayah kabupaten Biak. Lebih kurang 530-an jiwa tinggal di pulau itu seluas 2,5 km2 itu. Kesejahteraan warganya? hmm.. jangan kan warga Pulau Bepondi, warga Papua yang pulaunya jelas-jelas selalu tercetak di peta dunia saja masih banyak yang tidak tersentuh pelayanan pendidikan dan kesehatan, apalagi warga pulau kecil Bepondi ini.
Belum lagi kalau kita membicarakan gugusan Pulau Mapia, wilayah Kabupaten Supiori, masih di Papua. Ini dia wilayah negara kita yang sangat berprospek untuk dicaplok negara lain, potensi Mapia sangat bagus untuk di bidang periakanan, pertanian dan perkebunan. Gugusan pulau yang unik menjadi daya tarik eksotis wisata petualangan dan wisata bawah laut karena keindahan biota laut yang masih belum banyak terjamah. Saya yakin beberapa negara asing yang berbatasan langsung dengan pulau ini, seperti Filipina, Papua Nugini bahkan negara kecil Republik Palau pun sepertinya telah meneteskan air liur ingin mengakui pulau ini, prospektif sekali. Saya yakin Indonesia juga sudah sejak lama menyadari prospek luar biasa wilayah ini, tapi apakah cukup hanya menyadari saja?
Lalu tanyakan kepada kesemua penduduk yang tinggal di pulau-pulau terluar itu, apakah mereka bangga menjadi warga negara Indonesia?
Atau, andai saja Pendet dan Reog bisa bicara, mungkin akan lebih jelas bagi kita semua untuk mengetahui apakah mereka berdua lebih merasa nyaman berstatus sebagai budaya Indonesia atau berstatus sebagai bagian pariwisata Malaysia.
Sekali lagi, thank you Malaysia, mungkin kalau kamu tidak berbuat curang dan berkelakuan tidak fair seperti sekarang ini, negaraku tercinta ini tidak akan serius menjaga diri, tidak akan sibuk mengamankan diri, dan akan terus meremehkan arti pentingnya kewaspadaan dan kepedulian.
Tuesday, March 3, 2009
Keindahan Akan Menjadi Pesona Sejati Jika Dia Telah Membatasi Diri
MALAM itu, pulang agak larut setelah sedikit memaksa diri untuk lembur menyelesaikan tanggung jawab, yah.. setidaknya selesai sebelum deadline kan lebih baik, paling nggak masih punya sisa waktu untuk menyempurnakannya.
Seharian penuh hujan turun sampai malam, Alhamdulillah seger rasanya dan saya yakin semua tanaman pasti tersenyum menikmatinya.
Sudah hampir jam 12 malam, sampai rumah hujan sudah reda, tinggal rintik mungil yang jatuh ringan dengan lembut, semua benda masih basah dan tampak indah mengkilap tertimpa sinar lampu jalan.Seharian penuh hujan turun sampai malam, Alhamdulillah seger rasanya dan saya yakin semua tanaman pasti tersenyum menikmatinya.
Beberapa saat sebelum mekar sempurna
Entah kenapa, atau mungkin karena pikiran dan perasaan saya memang lagi aneh saat itu, belum sempat masuk rumah pandangan mata saya langsung tertuju pada bunga itu, padahal biasanya saya tidak terlalu heboh menjumpai makhluk indah berwarna putih ini, tidak terlalu memberi perhatian khusus ketika bunga ini mekar di bulan-bulan sebelumnya.
Orang-orang di rumah dan tetangga sebelah hampir selalu heboh ketika bunga unik ini mekar, Bunga Wijayakusuma namanya alias Epiphyllum oxypetalum atau ada juga yang mengenalnya sebagai Queen of Night. Si Putih yang harum ini termasuk jenis tumbuhan kaktus dan konon dahulu kala bunga seperti ini adalah simbol istimewa para raja Jawa.


Tepat pada puncak pekat malam, dia memberi kejernihan,
sesaat sebelum kemudian layu.
Ya nggak berlebihan juga sebenarnya jika mereka heboh, karena bunga ini kan punya banyak “hanya”, antara lain: hanya mekar pada malam hari tapi sayangnya hanya mekar semalam saja, selepas Isya’ semakin merekah perlahan dengan anggun, hingga puncaknya memancar lebar pada tengah malam dan sudah itu mengatup kembali seiring berjalannya malam melewati dini hari menjelang pagi, hingga sepersekian saat menjelang Shubuh bunga ini telah layu, mati dan tak akan merekah lagi, tinggal menunggu bakal bunga yang lain yang mungkin muncul pada tunas-tunas cabang berbeda yang entah kapan lagi akan mekar.sesaat sebelum kemudian layu.
Memang keindahan yang memancarkan pesona sejati harus mau ikhlas membatasi diri, karena jika tidak, ketika tidak ada batas dan dengan mudahnya siapa saja bisa melihat, menjumpai, menemui, bahkan menatap dan menyentuhnya maka keindahan itu mungkin lama-kelamaan menjadi cuma sekedar kata-kata lisan sebagai pronoun atau kata ganti untuk menyebut orang atau suatu benda saja, akan mudah meleleh seiring waktu berjalan, hambar dan lalu dilupakan begitu saja ketika pesonanya mulai hilang.
Untuk mendekati apalagi melakukan treatment lebih jauh terhadap suatu keindahan yang dibatasi itu, kadang kita merasa tidak siap, tidak capable dan tiba-tiba saja merasa diri ini tidak layak, maka yang muncul kemudian adalah kekhawatiran bahwa kita akan semakin jauh dan takut kehilangan pesonanya jika kita sering berada di dekatnya.
Takut kehilangan pesonanya…? Perjalanan dan rahasia kehidupan selalu akan dihadapkan pada kejutan-kejutan istimewa hingga kemudian sampai pada persimpangan yang manusiawi dan memang membingungkan…. Sejak Ibnu Haitham sampai Albert Einstein belum ada yang mampu merumuskan formula hitungnya. Bahkan Adam Smith atau Sigmund Freud dan Ibnu Khaldun pun tidak sanggup menjelaskannya dengan thesis mereka yang terkenal logis-empiris itu. Maka Allah pasti akan selalu menunjukkan kekuasaanNya….
“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.
( At Taghabun : 4)
( At Taghabun : 4)
Monday, February 23, 2009
"Lho, sakit kok nggak boleh...."
SUATU pagi menjelang siang, di sebuah ruang tunggu puskesmas, di satu kecamatan kecil yang setahu saya jarang muncul dalam peta, bahkan dalam peta propinsi sekalipun....
Suami : "Ibu ini gimana to?, sekali ndak boleh ya tetep ndak boleh, bapak ndak suka sama Mbah Guno, pokoknya kalau sakit ya ke puskesmas, titik."
Istri : "Oalah nak..nak, kok ya pake sakit segala to naaak... kamu itu." (berkata pada anaknya yang berusia 7 tahun yang dari tadi diam saja dipeluk ibunya, badanya panas, pucat, sepertinya dia terkena typus)
Suami : "Lho ibu ini, lha wong anaknya sakit kok ndak boleh, ini namanya musibah bu..., cobaan."
Istri : "Ya harusnya ndak boleh to pak, orang miskin seperti kita ini harusnya ndak boleh sakit, kita kan ndak punya duit, coba ini nanti kita pasti mbayarnya ndak bakalan cukup sepuluh ribu, kalau tadi ke Mbah Guno, udah ngantrinya ndak lama, mbayarnya juga boleh minggu depan pas kita selesai bantu-bantu panen sawahnya Pak Dulah."
Suami : "Sssstt...sudah-sudah, bapak ndak mau eyel-eyelan, ibu ndak usah mikirin duit, biar nanti bapak yang nyari pinjeman, dah...malu didengar orang."
Ibu Guru TK : "Lho bukannya ada askeskin, trus itu Jamkesmas juga, masak bapak gak punya sih?"
Suami : "Ap..apa ..as..ak..sek.. ? Eh apa tadi?"
Ibu Guru TK : "Askeskin, dah punya kan?"
Suami : (sambil menatap istrinya) "Emang kita punya bu?"
Istri : (geleng-geleng kepala) "Lha punya ndak ya? Ibu juga ndak ngerti pak...."
Ibu Guru TK : Itu lo pak, bu, kartu yang bisa buat minta keringanan jaminan kesehatan bagi yang kurang mampu, asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin… Kalau Jamkesmas?, belum pernah dengar juga? Tetangga tetangga sekampung juga nggak ada satupun yang punya?, Pak lurah atau petugas penyuluh apa belum pernah ngasih tau?"
Suami : "Wah ndak ngerti juga ya, la wong Pak lurah itu sering ketemu saya di mushola juga ndak pernah ngomongin itu kok, itu apa itu yang tadi itu.. kalau petugas penyuluhan ada, tapi setahu saya ya cuma ngomongin pupuk tablet sama kemarin ngasih contoh benih jagung unggul, dah itu tok kayaknya...."
Ibu Guru TK : “Bukan, bukan penyuluh pertanian pak, tapi penyuluh yang dari dinas kesehatan… Emmm..tapi keluarga bapak terdaftar dalam Gakin nggak sih?"
Suami : (tampak berpikir sebentar, mengingat-ingat sesuatu) "Ooo oo…o.. iya apa yang katanya Kang Giman dulu itu apa ya yang katanya ngurus surat bantuan pemrentah ke kelurahan tapi ndak jadi wong ngurusnya repot, ribet, lama, kesono kemari bolak balik ndak selesai-selesei itu."
Istri : "Oh iya iya inget aku pak, waktu kita njenguk istrinya yang kecelakaan itu kan…? Tapi kalau Kang Giman masih mending itu, kan dia tinggalnya jauh di kota sana to pak, mau ngapa-ngapa juga gampang, ngurus macem-macem ke kantor-kantor juga deket…"
Ibu Guru TK : "Waduh sayang banget ya, padahal dana yang diajukan depkes pusat ke DPR itu sampai trilyunan katanya, bener lo pak, bu, tiga trilyun berapa gitu."
Suami : "Weleh weleh buuanyak ya, ck ck ck, itu buat orang miskin semua to?"
Ibu guru TK : "Iya, ya itu semua katanya buat membiayai pengobatan masyarakat kurang mampu,kalau tahun ini sih kalau nggak salah cuma satu trilyun saja yang diajukan ke komisi sembilan DPR, itu buat orang miskin yang jumlahnya kalau nggak salah lebih dari 60 juta orang, itu yang kedaftar lo pak, padahal nggak cuma segitu lo harusnya. Eh, tapi...tapi kabarnya, kabarnya lo ini, kabarnya masih banyak puskesmas dan rumah sakit yang sudah ngasih keringanan biaya bagi warga miskin eh malah belum dapat uang ganti dari pemerintah, ya mereka jadi bingung kan, makanya banyak rumah sakit yang mempersulit bahkan nolak warga miskin berobat, lha kalau minta ganti ke pemerintah nggak dikasih-kasih, kan lama-lama bisa bangkrut rumah sakitnya ngasih gratisan terus, bener nggak...?"
Istri : "Tuh kan pak... (sambil melirik dan mencibir suaminya), makanya percaya to sama Mbah Guno, dukun-dukun kayak mereka tuh jadi pahlawan, penyelamat buat kita pak, berkah buat orang miskin kayak kita ini, kalau ndak ada dukun-dukun kayak Mbah Guno terus gimana kita?"
Suami : "Ya ampun bu...bu..., nyebut, istighfar, kok masih ngeyel terus, ibu ndak sadar apa, Gusti Allah yang Maha Kuasa itu kalau ngasih cobaan dan nguji iman umatnya itu caranya macem-macem bu, ya kayak gini ini salah satunya...."
(bersambung...entah kapan, entah dimana, tapi nggak janji yaa)
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Istri : "Uhhh… ngantrinya lama kayak gini paak pak, kasiaaan anak kita badannya...aduuh...kok ya tambah panas gini to..., apa ibu bilang tadi pak, kalau kita bawa ke Mbah Guno pasti dah sembuh sekarang."
Suami : "Ibu ini gimana to?, sekali ndak boleh ya tetep ndak boleh, bapak ndak suka sama Mbah Guno, pokoknya kalau sakit ya ke puskesmas, titik."
Istri : "Oalah nak..nak, kok ya pake sakit segala to naaak... kamu itu." (berkata pada anaknya yang berusia 7 tahun yang dari tadi diam saja dipeluk ibunya, badanya panas, pucat, sepertinya dia terkena typus)
Suami : "Lho ibu ini, lha wong anaknya sakit kok ndak boleh, ini namanya musibah bu..., cobaan."
Istri : "Ya harusnya ndak boleh to pak, orang miskin seperti kita ini harusnya ndak boleh sakit, kita kan ndak punya duit, coba ini nanti kita pasti mbayarnya ndak bakalan cukup sepuluh ribu, kalau tadi ke Mbah Guno, udah ngantrinya ndak lama, mbayarnya juga boleh minggu depan pas kita selesai bantu-bantu panen sawahnya Pak Dulah."
Suami : "Sssstt...sudah-sudah, bapak ndak mau eyel-eyelan, ibu ndak usah mikirin duit, biar nanti bapak yang nyari pinjeman, dah...malu didengar orang."
Tak berapa lama, seorang wanita setengah baya berpakaian rapi yang baru datang dan melihat sepasang suami istri ini, dia menghampiri dan menyapa mereka, wanita ini adalah guru taman kanak-kanak tak jauh dari Puskemas ini, dia penumpang langganan yang sering naik becaknya si bapak kalau pulang dari mengajar. Sepasang suami istri ini lalu menceritakan masalah mereka panjang lebar.
Ibu Guru TK : "Lho bukannya ada askeskin, trus itu Jamkesmas juga, masak bapak gak punya sih?"
Suami : "Ap..apa ..as..ak..sek.. ? Eh apa tadi?"
Ibu Guru TK : "Askeskin, dah punya kan?"
Suami : (sambil menatap istrinya) "Emang kita punya bu?"
Istri : (geleng-geleng kepala) "Lha punya ndak ya? Ibu juga ndak ngerti pak...."
Ibu Guru TK : Itu lo pak, bu, kartu yang bisa buat minta keringanan jaminan kesehatan bagi yang kurang mampu, asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin… Kalau Jamkesmas?, belum pernah dengar juga? Tetangga tetangga sekampung juga nggak ada satupun yang punya?, Pak lurah atau petugas penyuluh apa belum pernah ngasih tau?"
Suami : "Wah ndak ngerti juga ya, la wong Pak lurah itu sering ketemu saya di mushola juga ndak pernah ngomongin itu kok, itu apa itu yang tadi itu.. kalau petugas penyuluhan ada, tapi setahu saya ya cuma ngomongin pupuk tablet sama kemarin ngasih contoh benih jagung unggul, dah itu tok kayaknya...."
Ibu Guru TK : “Bukan, bukan penyuluh pertanian pak, tapi penyuluh yang dari dinas kesehatan… Emmm..tapi keluarga bapak terdaftar dalam Gakin nggak sih?"
Suami : (tampak berpikir sebentar, mengingat-ingat sesuatu) "Ooo oo…o.. iya apa yang katanya Kang Giman dulu itu apa ya yang katanya ngurus surat bantuan pemrentah ke kelurahan tapi ndak jadi wong ngurusnya repot, ribet, lama, kesono kemari bolak balik ndak selesai-selesei itu."
Istri : "Oh iya iya inget aku pak, waktu kita njenguk istrinya yang kecelakaan itu kan…? Tapi kalau Kang Giman masih mending itu, kan dia tinggalnya jauh di kota sana to pak, mau ngapa-ngapa juga gampang, ngurus macem-macem ke kantor-kantor juga deket…"
Ibu Guru TK : "Waduh sayang banget ya, padahal dana yang diajukan depkes pusat ke DPR itu sampai trilyunan katanya, bener lo pak, bu, tiga trilyun berapa gitu."
Suami : "Weleh weleh buuanyak ya, ck ck ck, itu buat orang miskin semua to?"
Ibu guru TK : "Iya, ya itu semua katanya buat membiayai pengobatan masyarakat kurang mampu,kalau tahun ini sih kalau nggak salah cuma satu trilyun saja yang diajukan ke komisi sembilan DPR, itu buat orang miskin yang jumlahnya kalau nggak salah lebih dari 60 juta orang, itu yang kedaftar lo pak, padahal nggak cuma segitu lo harusnya. Eh, tapi...tapi kabarnya, kabarnya lo ini, kabarnya masih banyak puskesmas dan rumah sakit yang sudah ngasih keringanan biaya bagi warga miskin eh malah belum dapat uang ganti dari pemerintah, ya mereka jadi bingung kan, makanya banyak rumah sakit yang mempersulit bahkan nolak warga miskin berobat, lha kalau minta ganti ke pemerintah nggak dikasih-kasih, kan lama-lama bisa bangkrut rumah sakitnya ngasih gratisan terus, bener nggak...?"
Istri : "Tuh kan pak... (sambil melirik dan mencibir suaminya), makanya percaya to sama Mbah Guno, dukun-dukun kayak mereka tuh jadi pahlawan, penyelamat buat kita pak, berkah buat orang miskin kayak kita ini, kalau ndak ada dukun-dukun kayak Mbah Guno terus gimana kita?"
Suami : "Ya ampun bu...bu..., nyebut, istighfar, kok masih ngeyel terus, ibu ndak sadar apa, Gusti Allah yang Maha Kuasa itu kalau ngasih cobaan dan nguji iman umatnya itu caranya macem-macem bu, ya kayak gini ini salah satunya...."
(bersambung...entah kapan, entah dimana, tapi nggak janji yaa)
Labels:
nyata-nyata ada,
something wrong,
special moment
Monday, February 2, 2009
"Kemarilah nak...sini, duduk dekat ayah...."
Memperhatikan dan mengamati perilaku seseorang, bagi saya menjadi suatu aktivitas yang excited, terlebih jika "gerak-gerik" orang tersebut memberikan kesan yang mendalam hingga menghadirkan pikiran, perasaan dan pelajaran baru.
Belum lama ini di suatu sore saya memperhatikan seorang ayah muda, tetangga sebelah, menimang-nimang anak pertamanya yang belum genap berusia lima bulan. Demikian riang tampak bahagia dua orang anak manusia ini, si bayi tampak damai dan beberapa kali tersenyum lebar kelihatan sangat senang ditimang sang ayah, sedangkan sang ayah sendiri dengan riangnya menimang sambil menyanyikan lagu-lagu yang nggak jelas lirik dan nadanya, ciptaan spontannya sendiri barangkali, tapi yang jelas lagu itu sangat riang gembira menggoda dan memanjakan si bayi. Tampak sekali sang ayah sedang sangat bahagia sore itu.
Mungkin yang terlintas di benak sang ayah saat itu, "Apapun yang akan terjadi kelak, engkau adalah malaikat kecilku, engkaulah mimpiku, harapanku. Oh...putra mahkotaku sampai kapanpun aku akan memelukmu, menimangmu, membelaimu, menciumimu selama-lamanya. Aku akan melindungimu nak, bahkan tak kan kubiarkan seekor semutpun mampu menggigit kulitmu". Dan sangat wajar hampir semua ayah berperilaku seperti itu pada anak bayinya tercinta.
"Hmm... tapi akankah selamanya demikian ya?"
Karena di bagian bumi lain seorang ayah memukuli dan menghajar habis-habisan anak laki-lakinya ketika si anak yang mulai menginjak usia 17 tahun membuat mobil sang ayah lecet tergores ketika semalam dipakai si anak menghabiskan malam minggu bersama teman-temannya sampai larut malam.
Sementara itu dalam ruang dan waktu yang berbeda, seorang ayah yang sejak si anak berusia 15 tahun hingga kini, 10 tahun kemudian, ketika si anak sudah berencana untuk menikah, keduanya tidak pernah bertegur sapa, sepatah katapun tidak. Hanya karena ego dan harga diri keduanya yang memuncak, idealisme dan prinsip keras yang telah membunuh kata hati kedua anak beranak ini hingga mati suri selama bertahun-tahun.
Atau seorang ayah yang notabene anggota TNI, dengan prinsip keras kedisiplinannya mengusir anak gadisnya dari rumah dan memastikan tidak akan mengakui lagi dia sebagai anak, karena si anak tertangkap basah menggunakan jarum suntik di kamarnya untuk memuaskan dahaga narkoba.
Di sisi lain, karena ketidak cocokan dengan ayahnya, seorang anak pergi meninggalkan rumah tanpa permisi, tidak pernah kembali lagi, dan lebih parah lagi kali ini, beberapa waktu lalu ditemukan seorang pria tua tewas di dalam rumahnya dengan kepala berdarah bekas pukulan keras benda tumpul, diketahui kemudian bahwa pelakunya adalah anak kandungnya sendiri yang kondisi jiwanya sehat wal afiat, sama sekali tidak sakit jiwa. Masya Allah.
Ayah dan Anak. Sebenarnya siapa yang layak berposisi sebagai "dipersalahkan"? Atau memang tidak seharusnya ada yang dipersalahkan? Karena bukankah pada dasarnya memang harus ada yang mau meletakkan ego dan mendengarkan, memahami karakter dan keinginan orang lain?
Atau lihat kisah heroik almarhum Rony Patinasarany, legenda sepak bola Indonesia, yang dengan ketabahan dan kekuatan cinta seorang ayah mencurahkan seluruh sisa hidupnya demi menyelamatkan kedua anaknya dari jebakan narkoba. Lihat pula apa yang dikisahkan Andrea Hirata, dalam "Sang Pemimpi" ketika sikap seorang ayah yang amat sangat antusias bergairah mengambil raport si Ikal yang menduduki peringkat 3 besar sekolah, dan ketika tahun berikutnya rangkingnya turun puluhan tingkat hingga angka 75 dari 160 siswa, sang ayah tetap bersikap sama, bersemangat dan bergairah, mengayuh sepada puluhan kilometer dengan memakai pakaian terbaiknya pergi ke sekolah mengambilkan rapor sang anak tercinta.
Secara umum seorang ayah yang mendapati prestasi anaknya anjlok amat sangat drastis akan menumpahkan amarah besar dan hukuman keras, tapi dia tidak. Tidak marah, tidak kecewa, hanya seutas senyum sambil menepuk-nepuk pundak sang anak kebanggaannya lalu pulang tanpa sepatah katapun. Dan sadar atau tidak sikap datar, misterius seperti inilah yang sebenarnya mampu menjadi treatment psikologis untuk membuat anak menjadi merasa bersalah secara halus hingga motivasi berprestasi untuk memperbaiki diri yang kemudian muncul adalah motivasi dari dalam diri sendiri bukan motivasi karbitan karena tertekan atau terpaksa. Bagaimanapun sifat dan karakternya, bukankah setiap manusia lebih merasa "dihargai" jika mendapatkan kebebasan secara penuh dan merasa sangat "berharga" ketika dapat berekspresi tanpa tekanan?
Atau sikap ayah yang satu ini, seperti terlukis dalam sktesa sederhana video berikut ini.....
"Ah...indahnya...."
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Belum lama ini di suatu sore saya memperhatikan seorang ayah muda, tetangga sebelah, menimang-nimang anak pertamanya yang belum genap berusia lima bulan. Demikian riang tampak bahagia dua orang anak manusia ini, si bayi tampak damai dan beberapa kali tersenyum lebar kelihatan sangat senang ditimang sang ayah, sedangkan sang ayah sendiri dengan riangnya menimang sambil menyanyikan lagu-lagu yang nggak jelas lirik dan nadanya, ciptaan spontannya sendiri barangkali, tapi yang jelas lagu itu sangat riang gembira menggoda dan memanjakan si bayi. Tampak sekali sang ayah sedang sangat bahagia sore itu.
Mungkin yang terlintas di benak sang ayah saat itu, "Apapun yang akan terjadi kelak, engkau adalah malaikat kecilku, engkaulah mimpiku, harapanku. Oh...putra mahkotaku sampai kapanpun aku akan memelukmu, menimangmu, membelaimu, menciumimu selama-lamanya. Aku akan melindungimu nak, bahkan tak kan kubiarkan seekor semutpun mampu menggigit kulitmu". Dan sangat wajar hampir semua ayah berperilaku seperti itu pada anak bayinya tercinta.
"Hmm... tapi akankah selamanya demikian ya?"
Karena di bagian bumi lain seorang ayah memukuli dan menghajar habis-habisan anak laki-lakinya ketika si anak yang mulai menginjak usia 17 tahun membuat mobil sang ayah lecet tergores ketika semalam dipakai si anak menghabiskan malam minggu bersama teman-temannya sampai larut malam.
Sementara itu dalam ruang dan waktu yang berbeda, seorang ayah yang sejak si anak berusia 15 tahun hingga kini, 10 tahun kemudian, ketika si anak sudah berencana untuk menikah, keduanya tidak pernah bertegur sapa, sepatah katapun tidak. Hanya karena ego dan harga diri keduanya yang memuncak, idealisme dan prinsip keras yang telah membunuh kata hati kedua anak beranak ini hingga mati suri selama bertahun-tahun.
Atau seorang ayah yang notabene anggota TNI, dengan prinsip keras kedisiplinannya mengusir anak gadisnya dari rumah dan memastikan tidak akan mengakui lagi dia sebagai anak, karena si anak tertangkap basah menggunakan jarum suntik di kamarnya untuk memuaskan dahaga narkoba.
Di sisi lain, karena ketidak cocokan dengan ayahnya, seorang anak pergi meninggalkan rumah tanpa permisi, tidak pernah kembali lagi, dan lebih parah lagi kali ini, beberapa waktu lalu ditemukan seorang pria tua tewas di dalam rumahnya dengan kepala berdarah bekas pukulan keras benda tumpul, diketahui kemudian bahwa pelakunya adalah anak kandungnya sendiri yang kondisi jiwanya sehat wal afiat, sama sekali tidak sakit jiwa. Masya Allah.
Ayah dan Anak. Sebenarnya siapa yang layak berposisi sebagai "dipersalahkan"? Atau memang tidak seharusnya ada yang dipersalahkan? Karena bukankah pada dasarnya memang harus ada yang mau meletakkan ego dan mendengarkan, memahami karakter dan keinginan orang lain?
Atau lihat kisah heroik almarhum Rony Patinasarany, legenda sepak bola Indonesia, yang dengan ketabahan dan kekuatan cinta seorang ayah mencurahkan seluruh sisa hidupnya demi menyelamatkan kedua anaknya dari jebakan narkoba. Lihat pula apa yang dikisahkan Andrea Hirata, dalam "Sang Pemimpi" ketika sikap seorang ayah yang amat sangat antusias bergairah mengambil raport si Ikal yang menduduki peringkat 3 besar sekolah, dan ketika tahun berikutnya rangkingnya turun puluhan tingkat hingga angka 75 dari 160 siswa, sang ayah tetap bersikap sama, bersemangat dan bergairah, mengayuh sepada puluhan kilometer dengan memakai pakaian terbaiknya pergi ke sekolah mengambilkan rapor sang anak tercinta.
Secara umum seorang ayah yang mendapati prestasi anaknya anjlok amat sangat drastis akan menumpahkan amarah besar dan hukuman keras, tapi dia tidak. Tidak marah, tidak kecewa, hanya seutas senyum sambil menepuk-nepuk pundak sang anak kebanggaannya lalu pulang tanpa sepatah katapun. Dan sadar atau tidak sikap datar, misterius seperti inilah yang sebenarnya mampu menjadi treatment psikologis untuk membuat anak menjadi merasa bersalah secara halus hingga motivasi berprestasi untuk memperbaiki diri yang kemudian muncul adalah motivasi dari dalam diri sendiri bukan motivasi karbitan karena tertekan atau terpaksa. Bagaimanapun sifat dan karakternya, bukankah setiap manusia lebih merasa "dihargai" jika mendapatkan kebebasan secara penuh dan merasa sangat "berharga" ketika dapat berekspresi tanpa tekanan?
Atau sikap ayah yang satu ini, seperti terlukis dalam sktesa sederhana video berikut ini.....
"Ah...indahnya...."
Thursday, January 1, 2009
If a picture paints a Thousand words....
Gaza.

"Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya
dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan"
(Asy Syuara' : 183)
Gaza, 28 – 31 Desember 2008
...... ,
1 Januari 2009 : 398 lebih korban jiwa, 2.000 orang lebih menderita luka-luka dan sekitar 20.000 warga Palestina mulai terancam kelaparan, ternyata belum cukup.....
Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.
(Al Qashash:83)
Sumber foto : the wallstreet journal - flickr.com - daylife.com - time magazine - jordan times
(Al Qashash:83)
SALURKAN DONASI UNTUK RAKYAT PALESTINA KE :
*Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin membuka rekening khusus mulai tanggal 10 - 11 Januari 2009 di Bank Mandiri Cabang Cut Mutia, Jakarta. No rek. 123 - 000 - 486 - 9584.
*Melalui muslim.or.id ke Bank Mandiri Cabang UGM Yogyakarta
No. Rekening: 1370002258826 a.n Hendri Syahrial
Bagi setiap donator harap konfirmasi ke 0815 7895 8484
muslim.or.id
*MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) sebuah organisasi sosial kemanusiaan medis gawat darurat berasaskan Islam dan berpegang pada prinsip rahmatan lil'aalamiin.
Donasi Palestina ke Bank Syariah Mandiri (BSM)
No rek. No. 009.0121.773 a.n Medical Emergency Rescue Committee
mer-c.org
*KISPA (Komite Indonesia Untuk Solidaritas Palestina). Membuka penyaluran infaq melalui Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Slipi. No rek. 311.01856.22 a.n Nurdin QQ Kispa.
kispa.or.id
*Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin membuka rekening khusus mulai tanggal 10 - 11 Januari 2009 di Bank Mandiri Cabang Cut Mutia, Jakarta. No rek. 123 - 000 - 486 - 9584.
*Melalui muslim.or.id ke Bank Mandiri Cabang UGM Yogyakarta
No. Rekening: 1370002258826 a.n Hendri Syahrial
Bagi setiap donator harap konfirmasi ke 0815 7895 8484
muslim.or.id
*MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) sebuah organisasi sosial kemanusiaan medis gawat darurat berasaskan Islam dan berpegang pada prinsip rahmatan lil'aalamiin.
Donasi Palestina ke Bank Syariah Mandiri (BSM)
No rek. No. 009.0121.773 a.n Medical Emergency Rescue Committee
mer-c.org
*KISPA (Komite Indonesia Untuk Solidaritas Palestina). Membuka penyaluran infaq melalui Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Slipi. No rek. 311.01856.22 a.n Nurdin QQ Kispa.
kispa.or.id
"sekecil apapun bentuk kepedulian
adalah setetes minyak yang dipercikkan
dan memungkinkan api yang sudah menyala
menjadi semakin luas berkobar."
adalah setetes minyak yang dipercikkan
dan memungkinkan api yang sudah menyala
menjadi semakin luas berkobar."
Sumber foto : the wallstreet journal - flickr.com - daylife.com - time magazine - jordan times
"Dia" Tahu Apa Yang Kita Lakukan
Kalimat itu keluar dari mulut seorang laki laki berumur sekitar 30-an lebih yang sempat ngobrol dengan saya selepas dhuhur di serambi masjid Gede Kauman Jogja beberapa hari yg lalu. Laki-laki berkemeja putih rapi yang dimasukkan ke dalam celana hitamnya itu adalah seorang sales kaus kaki dan ikat pinggang.
Menurut ceritanya, dia baru saja berkeliling berjalan kaki keluar masuk kantor dan sekolahan, menghampiri penunggu bus di halte bis trans Jogja, melangkah masuk ke perumahan dan perkampungan, lalu berbelok mencari peruntungan di seputaran alun alun utara, hingga tepat tengah hari ini melepas lelah di Masjid Gede Kauman di sebelah barat alun alun utara. “Walah dikit mas, belum nutup”, jawabnya ketika saya tanya, dia enggan menyebutkan hasil jualannya hari ini. “Apalagi sekarang ini sudah banyak kantor yang melarang para sales masuk, nggak tahu lah pokoknya asal jalan, kalau rejekinya lagi ada juga nggak bakalan kemana”, lanjutnya. Masih mengutip kalimatnya saat itu; “Pekerjaan yang benar-benar halal itu zaman sekarang ini makin berkurang, sangat sulit ditemui”, katanya, tetapi, tambahnya lagi; “Yang sulit ditemui itu bukan berarti tidak ada kan…”. Wallahu’alam.
Terlepas dari definisi “dikit” menurut dia itu dikit yang bagaimana, tapi setahu saya bagi para penjual keliling yang berjalan kaki bermil-mil, mandi keringat, ditolak dan diusir itu penghasilan dari jualan dengn model seperti ini belum bisa dibanggakan, belum lagi penjual es dengan bergerobak dorong yang makin kalah dengan es cream keliling ala barat, atau fragmen seorang pedagang cermin keliling dalam film Kun-Fayakun yang rasio antara usaha keras dan hasil yang didapat sangat tidak layak. Karena banyak orang yang tinggal duduk duduk ditempat teduh saja dengan santainya bisa mendapatkan penghasilan yang lumayan banyak, lebih dari para worker jalanan tadi. Setidaknya orang-orang seperti itu ada tidak lebih dari 10 meter didepan tempat kami duduk, tepatnya di depan pintu masuk masjid, duduk beralaskan koran dan kain dengan properti utama sebuah kaleng ataupun mangkuk kecil dari plastik, ya, para pengemis. Mereka sehat-segar bugar, dan beberapa dari mereka sebenarnya tidaklah miskin-miskin amat. Pendapatan mereka bisa mencapai Rp.30.000-Rp.50.000 sehari, bahkan lebih, terutama ketika hari jumat dan hari-hari libur dimana para wisatawan sedang booming. Yah..,setidaknya begitulah yang pernah saya dengar dari cerita mas-mas petugas parkir masjid ini. Ada sebuah segitiga unik saat itu, yang membuat saya tersenyum kecil sendiri, segitiga unik tentang rahasia kehidupan yang berada dalam radius tak lebih dari 10 meter, antara saya, sales kaus kaki itu dan para pengemis yang ada di depan kami.
Jadi teringat kejadian tahun lalu saat masih tinggal di Solo. Suatu hari minggu siang menjelang Ashar saya bersama dua orang teman duduk di teras depan rumah kos, lewatlah seorang bapak yang sudah cukup tua, penjual dipan kayu dengan teriakan khasnya yang melolong tiada gentar itu. Dua buah dipan kayu ditumpuk, diikat sedemikian rupa dengan tali diatas gerobak dorong dengan bantuan sebuah balok kayu kecil, sebagai tonggak penambat, dan sang bapak menarik gerobak ber-dipan itu langkah demi langkah. Tak ada kejadian apa-apa, dia lewat begitu saja seperti biasa. Hingga setelah agak jauh ---meski teriakannya tetap terdengar--- tiba-tiba bapak kos keluar tergopoh gopoh dari dalam rumah sambil bertepuk tangan memanggil sang penjual dipan. Bapak penjual dipan pun putar haluan kembali ke depan rumah kos kami dengan wajahnya yang sekarang menjadi sumringah, “Ah akhirnya dapat pembeli juga, bisa pulang tanpa harus menarik beban berat lagi plus bawa duit nih”, mungkin kalimat itu yang ada di benaknya kala itu.
Terjadi tawar menawar yang cukup sengit, lumayan alot, lumayan lama. Bapak kos bersikukuh tak mau menaikkan penawaran, sebaliknya penjual dipan juga sangat berhati hati menurunkan harga sedikit demi sedikit, meski tetap masih jauh dari limit pengajuan tawaran bapak kos. Akhirnya, tak ada yang mau mengalah, interaksi “perniagaan dipan” itu pun ditutup tanpa sebuah deal. Transaksi gagal. Sang bapak penjual dipan kembali melanjutkan langkahnya dengan kekecewaan yang sangat jelas terlihat dari raut muka dan bahasa tubuhnya ketika membalik gerobaknya dengan susah payah, dan melangkah beranjak meninggalkan rumah kos kami, mungkin kala itu langsung buyar angannya untuk pulang cepat sambil membawa uang.
Ada ketimpangan yang sangat mencolok di sini. Bapak kos, si calon pembeli itu, tanpa beban, santai saja kembali masuk rumah seperti tak terjadi apa-apa. Sementara bapak penjual dipan sangat kecewa, sebuah bagian dari kegagalan. Yah…, terang saja bagi bapak kos kejadian tadi cuma secuil kecil saja dari momen yang terjadi dalam hidupnya hari ini, suatu peristiwa yang mungkin tak terlalu berarti. Sebaliknya bagi Bapak tua penjual dipan, momen tadi bisa dipastikan adalah momen utama yang paling penting dan paling ditunggu dalam perjalanan hidupnya hari ini, momen yang seharusnya sangat menentukan. Anyway, the life must goes on.
Lalu power apa yang menyokong motivasi mereka selain rengekan anaknya yang menunggu di rumah? Mungkin saja diantara mereka memiliki power untuk selalu bergerak tak kenal ampun pada diri sendiri menjadi kekuatan tersendiri yang ampuh menerjang tuntutan hidupnya yang tanpa pilihan itu. Atau seperti sales kaus kaki tadi yang memiliki prinsip “Allah tahu apa yang kita kerjakan”. Bukankah kita memang mencari Ridho-Nya? Selalu melakukan sesuatu dengan kalimat sakral tersebut tetap lekat tertempel di jidat mungkin sama sekali nggak akan ada koruptor dan suap-suapan kali ya……
Terdapat 100 ayat dalam Al Qur’an (mohon dikoreksi jika kurang tepat) yang inti maknanya adalah memastikan bahwa “Allah maha mengetahui/melihat apa yang kita kerjakan/perbuat”. Dan kalimat itulah yang ternyata menjadi air lemon ice segar yang selalu dibawa-bawa para hard worker jalanan untuk mendinginkan kepala dan menyegarkan hati di bawah tusukan duri panas matahari dan guyuran pekat debu aspal kota. Good luck, God blesses.
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Menurut ceritanya, dia baru saja berkeliling berjalan kaki keluar masuk kantor dan sekolahan, menghampiri penunggu bus di halte bis trans Jogja, melangkah masuk ke perumahan dan perkampungan, lalu berbelok mencari peruntungan di seputaran alun alun utara, hingga tepat tengah hari ini melepas lelah di Masjid Gede Kauman di sebelah barat alun alun utara. “Walah dikit mas, belum nutup”, jawabnya ketika saya tanya, dia enggan menyebutkan hasil jualannya hari ini. “Apalagi sekarang ini sudah banyak kantor yang melarang para sales masuk, nggak tahu lah pokoknya asal jalan, kalau rejekinya lagi ada juga nggak bakalan kemana”, lanjutnya. Masih mengutip kalimatnya saat itu; “Pekerjaan yang benar-benar halal itu zaman sekarang ini makin berkurang, sangat sulit ditemui”, katanya, tetapi, tambahnya lagi; “Yang sulit ditemui itu bukan berarti tidak ada kan…”. Wallahu’alam.
Terlepas dari definisi “dikit” menurut dia itu dikit yang bagaimana, tapi setahu saya bagi para penjual keliling yang berjalan kaki bermil-mil, mandi keringat, ditolak dan diusir itu penghasilan dari jualan dengn model seperti ini belum bisa dibanggakan, belum lagi penjual es dengan bergerobak dorong yang makin kalah dengan es cream keliling ala barat, atau fragmen seorang pedagang cermin keliling dalam film Kun-Fayakun yang rasio antara usaha keras dan hasil yang didapat sangat tidak layak. Karena banyak orang yang tinggal duduk duduk ditempat teduh saja dengan santainya bisa mendapatkan penghasilan yang lumayan banyak, lebih dari para worker jalanan tadi. Setidaknya orang-orang seperti itu ada tidak lebih dari 10 meter didepan tempat kami duduk, tepatnya di depan pintu masuk masjid, duduk beralaskan koran dan kain dengan properti utama sebuah kaleng ataupun mangkuk kecil dari plastik, ya, para pengemis. Mereka sehat-segar bugar, dan beberapa dari mereka sebenarnya tidaklah miskin-miskin amat. Pendapatan mereka bisa mencapai Rp.30.000-Rp.50.000 sehari, bahkan lebih, terutama ketika hari jumat dan hari-hari libur dimana para wisatawan sedang booming. Yah..,setidaknya begitulah yang pernah saya dengar dari cerita mas-mas petugas parkir masjid ini. Ada sebuah segitiga unik saat itu, yang membuat saya tersenyum kecil sendiri, segitiga unik tentang rahasia kehidupan yang berada dalam radius tak lebih dari 10 meter, antara saya, sales kaus kaki itu dan para pengemis yang ada di depan kami.
Jadi teringat kejadian tahun lalu saat masih tinggal di Solo. Suatu hari minggu siang menjelang Ashar saya bersama dua orang teman duduk di teras depan rumah kos, lewatlah seorang bapak yang sudah cukup tua, penjual dipan kayu dengan teriakan khasnya yang melolong tiada gentar itu. Dua buah dipan kayu ditumpuk, diikat sedemikian rupa dengan tali diatas gerobak dorong dengan bantuan sebuah balok kayu kecil, sebagai tonggak penambat, dan sang bapak menarik gerobak ber-dipan itu langkah demi langkah. Tak ada kejadian apa-apa, dia lewat begitu saja seperti biasa. Hingga setelah agak jauh ---meski teriakannya tetap terdengar--- tiba-tiba bapak kos keluar tergopoh gopoh dari dalam rumah sambil bertepuk tangan memanggil sang penjual dipan. Bapak penjual dipan pun putar haluan kembali ke depan rumah kos kami dengan wajahnya yang sekarang menjadi sumringah, “Ah akhirnya dapat pembeli juga, bisa pulang tanpa harus menarik beban berat lagi plus bawa duit nih”, mungkin kalimat itu yang ada di benaknya kala itu.
Terjadi tawar menawar yang cukup sengit, lumayan alot, lumayan lama. Bapak kos bersikukuh tak mau menaikkan penawaran, sebaliknya penjual dipan juga sangat berhati hati menurunkan harga sedikit demi sedikit, meski tetap masih jauh dari limit pengajuan tawaran bapak kos. Akhirnya, tak ada yang mau mengalah, interaksi “perniagaan dipan” itu pun ditutup tanpa sebuah deal. Transaksi gagal. Sang bapak penjual dipan kembali melanjutkan langkahnya dengan kekecewaan yang sangat jelas terlihat dari raut muka dan bahasa tubuhnya ketika membalik gerobaknya dengan susah payah, dan melangkah beranjak meninggalkan rumah kos kami, mungkin kala itu langsung buyar angannya untuk pulang cepat sambil membawa uang.
Ada ketimpangan yang sangat mencolok di sini. Bapak kos, si calon pembeli itu, tanpa beban, santai saja kembali masuk rumah seperti tak terjadi apa-apa. Sementara bapak penjual dipan sangat kecewa, sebuah bagian dari kegagalan. Yah…, terang saja bagi bapak kos kejadian tadi cuma secuil kecil saja dari momen yang terjadi dalam hidupnya hari ini, suatu peristiwa yang mungkin tak terlalu berarti. Sebaliknya bagi Bapak tua penjual dipan, momen tadi bisa dipastikan adalah momen utama yang paling penting dan paling ditunggu dalam perjalanan hidupnya hari ini, momen yang seharusnya sangat menentukan. Anyway, the life must goes on.
Lalu power apa yang menyokong motivasi mereka selain rengekan anaknya yang menunggu di rumah? Mungkin saja diantara mereka memiliki power untuk selalu bergerak tak kenal ampun pada diri sendiri menjadi kekuatan tersendiri yang ampuh menerjang tuntutan hidupnya yang tanpa pilihan itu. Atau seperti sales kaus kaki tadi yang memiliki prinsip “Allah tahu apa yang kita kerjakan”. Bukankah kita memang mencari Ridho-Nya? Selalu melakukan sesuatu dengan kalimat sakral tersebut tetap lekat tertempel di jidat mungkin sama sekali nggak akan ada koruptor dan suap-suapan kali ya……
Terdapat 100 ayat dalam Al Qur’an (mohon dikoreksi jika kurang tepat) yang inti maknanya adalah memastikan bahwa “Allah maha mengetahui/melihat apa yang kita kerjakan/perbuat”. Dan kalimat itulah yang ternyata menjadi air lemon ice segar yang selalu dibawa-bawa para hard worker jalanan untuk mendinginkan kepala dan menyegarkan hati di bawah tusukan duri panas matahari dan guyuran pekat debu aspal kota. Good luck, God blesses.
Monday, October 27, 2008
TERAPI ISTIGHFAR
Malam itu, kuliah rasanya akan sangat membosankan. Bukan karena dosen bukan pula karena mata kuliah. Tapi virus di mata ini, virus yang selalu menyerang orang kelelahan, ngantuk. Kelopak mata ini rasanya seperti pintu kios kecil yang didepan jalannya sedang dilewati serombongan bonek (pendukung Persebaya Surabaya) yang tim kesayangannya itu baru saja kalah 7-0 akibat keputusan wasit yang kontoversial, maunya pingin cepet cepet tutup rapat-rapat. Ngantuk sekali, padahal jarum jam baru saja melewati angka 8 malam. Maklum seharian tadi sudah bergelut dengan setumpuk file yang musti dire-cek sedetail mungkin dengan mata terbelalak.
Benar saja, sepersekian menit kemudian aku sudah masuk ke surga tidur. Tapi tidak lama karena kemudian getar handphone di saku tiba-tiba membangunkan aku, hanya sebuah sms iseng yang tidak terlalu penting dari seorang teman, sangat kebetulan sekali tapi efeknya lumayan ampuh karena aku kemudian bangun, mencoba bertahan sekuat tenaga, apalagi tepat pada saat itu dosen memasuki pembicaraan yang cukup menarik mengenai teacher as a therapist yang sebenarnya bukan hanya cocok diterapkan oleh guru, tapi sangat berguna diterapkan para orang tua dalam berhubungan dengan anak-anaknya.
Andai saja semua anak yang bersekolah itu seperti para anggota lascar pelangi, terlebih seorang Lintang yang dengan keadaan sekolah serba memprihatinkan dan dilatar belakangi kehidupan ekonomi yang carut marut hingga memaksanya harus kembali berkeringat membantu orang tuanya bekerja.pada sore hari. Setiap hari menempuh jarak puluhan kilometer untuk pergi ke sekolah yang sebenarnya tidak terlalu menjanjikan itu, namun dengan semangat bak cheetah kelaparan yang menguber-uber seekor antilop dia dengan sepeda bututnya berusaha tidak tertinggal secuil pun pelajaran sekolah.
Kenyataan yang terjadi adalah bukan rahasia lagi bahwa banyak sekolah yang muridnya terlambat masuk kelas dengan sengaja, meskipun sebenarnya telah datang ke sekolah sebelum jam 7 pagi tapi seperti biasa nongkrong-nongkrong dulu sampai jam 8, biasanya dilakukan anak-anak kelas 2, belum cukup sampai di situ, banyak pula sekolah yang murid dalam kelasnya tinggal dua atau tiga orang saja, itu masih mending, karena tidak jarang pula kelas telah kosong, padahal jam baru menunjukkan pukul 11 menjelang siang, dan hari itu pun bukan hari Jum’at. Sialnya lagi keadaan ini berlangsung terus menerus, membudaya dan terwariskan dengan rapi, yang salah satu sebabnya sayangnya adalah karena tidak adanya ketegasan dari pihak sekolah, karena berbagai alasan masing-masing. Salah satu alasan yang ironis adalah karena sekolah memang membutuhkan siswa, biasanya itu adalah sekolah SMP, SMA, SMEA, maupun SMK swasta kelas menengah ke bawah. Logikanya, jika sekolah terlalu membebani murid, takutnya jumlah murid tiap tahun bisa makin berkurang.
Untuk sekolah yang seperti ini peran guru BK sebenarnya amat sangat vital sehingga seharusnya guru BK di sekolah tersebut adalah seorang yang berlatar belakang psikologi atau setidaknya seorang yang benar benar terlatih secara profesiaonal dan berkualitas dalam bidang itu sehingga dia benar-benar bisa menciptakan budaya sekolah yang terkontrol, termasuk selalu menganalisis sekaligus meng-inovasi metode treatment yang paling tepat di dalam kondisi yang terjadi di sekolahnya dan rajin membangun relationship dan komunikasi dengan orang tua murid bagaimanapun keadaan dan tanggapan keluarganya, setidaknya begitulah idealnya.
Sayangnya orang-orang dengan kualifikasi seperti itu malah banyak berada di dalam sekolah elit, sekolah teladan dan sekolah unggulan, yang kalau boleh jujur sebenarnya level kenakalan murid dan perilaku menyimpang para siswanya tidaklah parah-parah amat. Ya wajar lah bukankah kualitas memang harus dihargai mahal, dan sekolah kelas menengah ke bawah yang penuh dengan masalah siswa mungkin tidak mampu membayar para professional itu. Akibatnya peran guru BK dipegang sambil lalu oleh guru yang mau atau guru yang jadwalnya tak terlalu padat.
Kalau sudah begitu tanggung jawab ada pada semua guru bidang apapun, tidak mungkin keadaan seperti itu berjalan dibiarkan terus menerus tanpa ada perubahan, dan bukankah kondisi tersebut tidak boleh hanya dilalui begitu saja hari demi hari ?
Kembali ke teacher as a therapist. Seorang pendidik dan orang tua tidak hanya membawa ilmu pengetahuan atau nilai-nilai moral dan agama, mentransfer ke siswa atau ke anaknya dan kalau sudah muncul pesan “transfer accepted” dia kemudian pergi berlalu begitu saja. Tidak, guru dan orang tua adalah pen-terapi anak atau siswa terlebih ketika kondisi siswa tidak siap untuk menerima materi ilmu pengetahuan. Terapi psikologis bisa dipahami salah satunya adalah sebagai bagaimana mengubah jiwa seseorang dengan jiwa kita, yang tentunya disesuaikan dengan diri kepribadian orang tersebut. Salah satu indikasi keberhasilannya adalah ketika guru masuk ke kelas maka yang ada dalam pikiran dan perasaan siswa bukan rasa takut dan rasa was-was atau bahkan gambaran dan bayangan perasaan bosan dan memuakkan selama jam pelajaran berlangsung. Siswa harus belajar karena senang, nyaman, karena merasa butuh dan karena gurunya itu, bukan mau belajar karena takut. Demikian pula bagi orang tua dalam membangun sebuah budaya, aturan atau kedisiplinan bagi anaknya, Insya Allah mereka tidak akan merasa terpaksa.
Mengubah jiwa seseorang dengan jiwa kita Itu artinya untuk mendapatkan kemampuan sebagai terapist harus dimulai dari dalam diri kita yang kemudian kita pancarkan keluar. Caranya sangat sederhana, dimulai dengan terapi diri sebelum menterapi orang lain yaitu melalui introspeksi diri, mengakui kesalahan dan dengan ikhlas memohon ampun kepada Allah, istighfar dengan ikhlas segenap jiwa, setiap saat setiap waktu dimana pun kita berada dalam suasana hati bagaimanapun dan dalam kondisi apapun aktifitas kita. Sangat sederhana tetapi ternyata efeknya sungguh ajaib, karena secara psikologis jika jiwa kita bersih maka pengaruh yang muncul keluar pun akan menjadi luar biasa, setidaknya demikian yang saya tangkap dari penjelasan dosen malam itu.
Terapi diri melalui terapi istighfar ini sangat tepat diterapkan ketika menghadapi anak-anak masa sekarang sebagai perlidungan terhadap jutaan pengaruh buruk yang bisa mencederai hati dan pikiran mereka. Setiap hari 100 atau 200 kali sehabis sholat tidaklah terlalu berat, malahan hati menjadi nyaman. Jika kita sudah melakukan itu, maka tanggung jawab kita kemudian adalah memberi contoh dan mengajak anak kita, murid kita dan orang-orang di sekitar kita untuk melakukan hal serupa. Bukankah anak adalah produk dari lingkungan, dan mereka selalu belajar dari lingkungannya itu ?.
Jika terapi ini berhasil maka ketika kita berada jauh dari anak didik kita-pun pengaruh jiwa yang bersih ini akan tetap terasa. Sebagaimana matahari yang sekalipun pada malam hari sama sekali tidak tampak dari bumi tetapi sinarnya masih tetap terpancar dan selalu bisa kita nikmati melalui bulan.
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Benar saja, sepersekian menit kemudian aku sudah masuk ke surga tidur. Tapi tidak lama karena kemudian getar handphone di saku tiba-tiba membangunkan aku, hanya sebuah sms iseng yang tidak terlalu penting dari seorang teman, sangat kebetulan sekali tapi efeknya lumayan ampuh karena aku kemudian bangun, mencoba bertahan sekuat tenaga, apalagi tepat pada saat itu dosen memasuki pembicaraan yang cukup menarik mengenai teacher as a therapist yang sebenarnya bukan hanya cocok diterapkan oleh guru, tapi sangat berguna diterapkan para orang tua dalam berhubungan dengan anak-anaknya.
Andai saja semua anak yang bersekolah itu seperti para anggota lascar pelangi, terlebih seorang Lintang yang dengan keadaan sekolah serba memprihatinkan dan dilatar belakangi kehidupan ekonomi yang carut marut hingga memaksanya harus kembali berkeringat membantu orang tuanya bekerja.pada sore hari. Setiap hari menempuh jarak puluhan kilometer untuk pergi ke sekolah yang sebenarnya tidak terlalu menjanjikan itu, namun dengan semangat bak cheetah kelaparan yang menguber-uber seekor antilop dia dengan sepeda bututnya berusaha tidak tertinggal secuil pun pelajaran sekolah.
Kenyataan yang terjadi adalah bukan rahasia lagi bahwa banyak sekolah yang muridnya terlambat masuk kelas dengan sengaja, meskipun sebenarnya telah datang ke sekolah sebelum jam 7 pagi tapi seperti biasa nongkrong-nongkrong dulu sampai jam 8, biasanya dilakukan anak-anak kelas 2, belum cukup sampai di situ, banyak pula sekolah yang murid dalam kelasnya tinggal dua atau tiga orang saja, itu masih mending, karena tidak jarang pula kelas telah kosong, padahal jam baru menunjukkan pukul 11 menjelang siang, dan hari itu pun bukan hari Jum’at. Sialnya lagi keadaan ini berlangsung terus menerus, membudaya dan terwariskan dengan rapi, yang salah satu sebabnya sayangnya adalah karena tidak adanya ketegasan dari pihak sekolah, karena berbagai alasan masing-masing. Salah satu alasan yang ironis adalah karena sekolah memang membutuhkan siswa, biasanya itu adalah sekolah SMP, SMA, SMEA, maupun SMK swasta kelas menengah ke bawah. Logikanya, jika sekolah terlalu membebani murid, takutnya jumlah murid tiap tahun bisa makin berkurang.
Untuk sekolah yang seperti ini peran guru BK sebenarnya amat sangat vital sehingga seharusnya guru BK di sekolah tersebut adalah seorang yang berlatar belakang psikologi atau setidaknya seorang yang benar benar terlatih secara profesiaonal dan berkualitas dalam bidang itu sehingga dia benar-benar bisa menciptakan budaya sekolah yang terkontrol, termasuk selalu menganalisis sekaligus meng-inovasi metode treatment yang paling tepat di dalam kondisi yang terjadi di sekolahnya dan rajin membangun relationship dan komunikasi dengan orang tua murid bagaimanapun keadaan dan tanggapan keluarganya, setidaknya begitulah idealnya.
Sayangnya orang-orang dengan kualifikasi seperti itu malah banyak berada di dalam sekolah elit, sekolah teladan dan sekolah unggulan, yang kalau boleh jujur sebenarnya level kenakalan murid dan perilaku menyimpang para siswanya tidaklah parah-parah amat. Ya wajar lah bukankah kualitas memang harus dihargai mahal, dan sekolah kelas menengah ke bawah yang penuh dengan masalah siswa mungkin tidak mampu membayar para professional itu. Akibatnya peran guru BK dipegang sambil lalu oleh guru yang mau atau guru yang jadwalnya tak terlalu padat.
Kalau sudah begitu tanggung jawab ada pada semua guru bidang apapun, tidak mungkin keadaan seperti itu berjalan dibiarkan terus menerus tanpa ada perubahan, dan bukankah kondisi tersebut tidak boleh hanya dilalui begitu saja hari demi hari ?
Kembali ke teacher as a therapist. Seorang pendidik dan orang tua tidak hanya membawa ilmu pengetahuan atau nilai-nilai moral dan agama, mentransfer ke siswa atau ke anaknya dan kalau sudah muncul pesan “transfer accepted” dia kemudian pergi berlalu begitu saja. Tidak, guru dan orang tua adalah pen-terapi anak atau siswa terlebih ketika kondisi siswa tidak siap untuk menerima materi ilmu pengetahuan. Terapi psikologis bisa dipahami salah satunya adalah sebagai bagaimana mengubah jiwa seseorang dengan jiwa kita, yang tentunya disesuaikan dengan diri kepribadian orang tersebut. Salah satu indikasi keberhasilannya adalah ketika guru masuk ke kelas maka yang ada dalam pikiran dan perasaan siswa bukan rasa takut dan rasa was-was atau bahkan gambaran dan bayangan perasaan bosan dan memuakkan selama jam pelajaran berlangsung. Siswa harus belajar karena senang, nyaman, karena merasa butuh dan karena gurunya itu, bukan mau belajar karena takut. Demikian pula bagi orang tua dalam membangun sebuah budaya, aturan atau kedisiplinan bagi anaknya, Insya Allah mereka tidak akan merasa terpaksa.
Mengubah jiwa seseorang dengan jiwa kita Itu artinya untuk mendapatkan kemampuan sebagai terapist harus dimulai dari dalam diri kita yang kemudian kita pancarkan keluar. Caranya sangat sederhana, dimulai dengan terapi diri sebelum menterapi orang lain yaitu melalui introspeksi diri, mengakui kesalahan dan dengan ikhlas memohon ampun kepada Allah, istighfar dengan ikhlas segenap jiwa, setiap saat setiap waktu dimana pun kita berada dalam suasana hati bagaimanapun dan dalam kondisi apapun aktifitas kita. Sangat sederhana tetapi ternyata efeknya sungguh ajaib, karena secara psikologis jika jiwa kita bersih maka pengaruh yang muncul keluar pun akan menjadi luar biasa, setidaknya demikian yang saya tangkap dari penjelasan dosen malam itu.
Terapi diri melalui terapi istighfar ini sangat tepat diterapkan ketika menghadapi anak-anak masa sekarang sebagai perlidungan terhadap jutaan pengaruh buruk yang bisa mencederai hati dan pikiran mereka. Setiap hari 100 atau 200 kali sehabis sholat tidaklah terlalu berat, malahan hati menjadi nyaman. Jika kita sudah melakukan itu, maka tanggung jawab kita kemudian adalah memberi contoh dan mengajak anak kita, murid kita dan orang-orang di sekitar kita untuk melakukan hal serupa. Bukankah anak adalah produk dari lingkungan, dan mereka selalu belajar dari lingkungannya itu ?.
Jika terapi ini berhasil maka ketika kita berada jauh dari anak didik kita-pun pengaruh jiwa yang bersih ini akan tetap terasa. Sebagaimana matahari yang sekalipun pada malam hari sama sekali tidak tampak dari bumi tetapi sinarnya masih tetap terpancar dan selalu bisa kita nikmati melalui bulan.
Labels:
catatan perjalanan,
nyata-nyata ada
Monday, October 13, 2008
CATATAN KECIL 30 HARI DI BULAN SUCI
Ramadhan dengan Idul Fitri-nya selalu menyuguhkan romantisme, nostalgia masa kecil, harapan masa depan, dan kewaspadaan.
Ramadhan kali ini dilihat dari kalender cukup menarik karena tanggal masehi bertepatan dengan kalender Islam, ditambah lagi dimulai dengan hari Senin. Akan lama terulang kembali.
Terlepas dari perdedaan pelaksanaan Ramadhan dan Syawal beberapa ormas Islam seperti Hizbuttahrir, Subandiyah dan Satariyah Jombang serta sekelompok muslim di Padang serta beberapa tempat lain, tapi secara umum Ramadhan kali ini lebih kompak dari tahun tahun sebelumnya.
Tapi itu semua hanya sebatas ornamen luar Ramadhan, karena di dalam perjalanannya kemudian ternyata peristiwa-peristiwa yang terjadi di Bulan Suci kali ini seharusnya cukup bisa menghadirkan sinyal kewaspadaan.
Sama halnya dengan kejadian di bulan-bulan biasa yang lain, di bulan suci ini pembunuhan sadis, penodaan kesucian anak dibawah umur terjadi di beberapa tempat yang bahkan ada yang dilakukan seorang guru dan ustadz, perjudian yang parahnya dilakukan oleh aparat, perampokan, penipuan berkedok arisan yang korbannya bahkan termasuk teman-teman pelaku, pesta miras, kekerasan dalam rumah tangga, kecurangan dengan trik-trik yang merugikan konsumen yang dilakukan penjual makanan, aktivitas pemotongan hewan dengan cara haram, rekayasa dalam Daftar Caleg Sementara yang diterbitkan KPU dimana caleg-caleg bermasalah masih saja lolos verifikasi, kerusuhan protes masa yang berbuntut perusakan sarana umum dan beberapa realitas sosial serta peristiwa-peristiwa yang sempat tercatat berikut........
PARADE KEMISKINAN TELAH MEMAKAN KORBAN
Tanggal 15 Ramadhan, di Pasuruan.
Seperti biasa, pemerintah lalu kebakaran jenggot ketika akibat fatal telah terjadi, meski dari dulu sebenarnya sudah banyak wacana yang merasa khawatir dengan pelaksanaan direct zakat.
Harus selalu diingat bahwa crowded/kerumunan (kelompok tak terorganisasi yang terbentuk secara temporer dan tanpa peraturan baku di dalamnya) selalu berpotensi konflik dan merusak, termasuk kemudian menimbulkan korban.
12 orang tewas kehabisan napas dan teergencet sesama pengantri zakat Rp. 30. 000 di sebuah area sempit yang diisi ribuan manusia.
Akan tetapi jangan dahulu memvonis buruk terhadap keluarga sang pemberi zakat yang telah bertahun tahun melakukan tradisi ini, sekaligus jangan pula menilai para korban ini mati konyol karena tindakan bodohnya sendiri.
Untuk sementara kita lupakan siapa yang harus dipersalahkan dalam peristiwa ini, mari kita do’a kan agar para korban diterima di sisinya. Semoga mereka meninggal dalam syahid, disamping karena di dalam bulan Ramadhan, para wanita itu meninggal untuk sebuah perjuangan mendapatkan Rp. 30.000, sejumlah uang yang mungkin tidak terlalu besar tapi bagi para fakir dan miskin uang kecil tersebut bisa menutup malu karena bisa untuk membayar hutang yang tak lunas-lunas, bisa mendiamkan tangis anaknya yang terus minta baju baru seperti teman-temannya, namun demikian memang tidak semua korban benar-benar miskin.
Salah satu fungsi zakat sebenarnya adalah untuk sedikit menghilangkan gap atau celah pemisah antara si kaya dengan si miskin selain menciptakan suasana agar si miskin pun bisa tersenyum merayakan lebaran. Sayangnya, disamping lack of database dan tidak objektif, pembagian zakat dengan cara langsung seperti ini membuat trend parade kemiskinan menjadi tidak lagi tabu karena sedemikian banyaknya orang yang ikut di dalamnya, dan ini berimbas pada hilangnya rasa malu. Akhirnya bukannya celah yang hilang tapi malah semakin menunjukkan dengan terang-terangan “dia si kaya dan mereka si miskin”. Sekali lagi sayangnya, julukan “si kaya” tidak lagi menjadi sebuah beban, dan sebutan “si miskin” bukan lagi menjadi aib.
KORBAN FANATISME
Tanggal 20 Ramadhan, di Stadion Lebak Bulus, Jakarta.
Seorang remaja berusia 16 tahun, suporter Persitara Jakarta Utara tewas setelah diserang sekelompok orang beratribut JakMania, suporter Persija Jakarta Pusat. Di depan pintu bus, JakMania menyerang para NJ mania (Suporter Persitara Jakarta Utara) secara tiba-tiba, korban yang tewas tersebut adalah akibat terkena senjata tajam, ditambah lagi setelah dia terjatuh masih dikeroyok.
Apakah suatu fanatisme itu harus selalu di ekspresikan dengan menjatuhkan atau menghancurkan kelompok lain (violent behaviour out group feeling) untuk mendapatkan sebuah pengakuan nama besar?
SWEEPING KALI INI SANGAT DISAYANGKAN.......
Tanggal 25 Ramadhan di Tasikmalaya.
FPI yang berjalan menyisir jalan kota memporak-porandakan warung-warung makan yang tetap buka dan melayani pembeli, bukan cuma warung yang di rusak, dari tayangan televisi jelas terlihat “makanan” yang ada dibuang-buang.
Sebenarnya salut untuk sweeping tempat-tempat maksiat yang sering dilakukan FPI, karena memang dalam penegakan syariat Islam harus ada tindakan dengan kekerasan ketika kemaksiatan itu sudah diluar batas dan jelas-jelas merusak moral. Tapi khusus untuk sweeping yang satu ini masih sulit diterima pembenarannya sampai sekarang, dilihat dari segi manapun.
Bukankah seharusnya kita secara dewasa sudah bisa memilah-milah dan membedakan mana hitam mana putih, dan memahami sepenuhnya apa yang harus dilakukan ketika menghadapi sesuatu, termasuk bagaimana memperlakukan rizki Allah berupa makanan yang masih layak makan ?
Bukankah para penjual makanan itu sedang mencari nafkah ?
Bukankah puasa itu lebih dari sekedar tidak makan dan tidak minum ?
FPI DAN BANSER, SAMA - SAMA MUSLIM KAN ?
Tanggal 25 Ramadhan di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat (Depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat)
Buntut dari persidangan kasus Monas bulan Juni lalu. Di tengah jalan kubu FPI dan Banser plus AKKBB saling lempar batu dan konflik fisik secara langsung. Menurut para saksi pelemparan batu dimulai oleh Banser plus AKKBB. Kejadian ini bermula dari bertemunya kedua kubu yang kemudian bersitegang ketika akan memasuki ruang persidangan. Masalahnya yang terganggu dan bahkan ikut terkena lemparan adalah para pengguna jalan yang tak ada sangkut pautnya. Hingga kemudian tampaklah seseorang yang memakai atribut banser babak belur hingga berdarah darah.
Belum selesai sampai di sini, dua orang tokoh masing masing seorang dari FPI dan seorang dari Banser terlibat adu argumen, saling menjatuhkan dan mengklaim diri mereka mendapat provokasi kasar secara lisan dan fisik. Sayangnya adu argumen disiarkan stasiun televisi secara langsung pula, yang tentu ditonton jutaan pasang mata, dan ini menjadi sebuah kampanye buruk bagi nama baik ukhuwah umat Islam, terlebih ini terjadi di bulan suci Ramadhan.
Jika dalam kepala kita dipenuhi fanatisme klasik yang dicampur emosi, rasa curiga, dan ganjalan yang tak terungkap maka sering kita jadi lupa bahwa komunikasi dengan kepala dingin mau saling mendengar adalah kunci utama semua penyelesaian konflik kelompok. Dan jika kalimat; “Aku yang benar, kamulah yang salah” terus mendekam dan menjadi landasan pokok pola pikir, maka hal itu kemudian bisa membuat kita menjadi lupa bahwa kita juga bisa bilang “Kamu muslim dan aku juga muslim.”
JAMA'AH YA IBAD DIUSIR
Tanggal 26 Ramadhan di Masjid Nurullah, Surabaya.
Puluhan Polisi mengusir Jamaah Ya Ibad (Yayasan Al Mukhlasin Ibadurrahman) dari dalam Masjid Nurullah selepas sholat tarawih ketika mereka sedang beri’tikaf dan membaca Al Qur’an. Mereka sempat dipukul dan diseret secara kasar karena menolak keluar dari masjid, hingga beberapa mengalami luka-luka dan memar, bahkan seorang harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami patah tulang jari. Yang di sayangkan lagi, tampak beberapa polisi tidak melepas sepatunya ketika memasuki masjid tersebut.
Kejadian ini merupakan lanjutan dari tuntutan warga sekitar yang meminta kegiatan mereka dihentikan. Warga sekitar lansung tidak suka terhadap Ya Ibad karena Ketua Yayasan Ya Ibad tersebut dilaporkan telah melakukan pelecehan seksual sejak tahun 2007 lalu terhadap 18 santrinya yang belajar mengaji di TPA Mawar Melati milik Ya Ibad yang sebagian adalah anak-anak warga sekitar. Ditambah lagi, menurut pengakuan beberapa warga, para pengurus Ya Ibad juga tidak bisa ataupun tidak mau bergaul baik-baik dengan warga sekitar.
Wallahu’alam.
SEDIKIT TENTANG RUU PORNOGRAFI
Sepanjang bulan Ramadhan, terutama di Jogja, Solo, Bali, Jakarta dan beberapa wilayah di Indonesia bagian timur.
Dalam bulan suci ramadhan ini penolakan draft RUU Pornografi semakin santer diteriakkan di beberapa tempat termasuk aksi para seniman Jogja, Solo, Bali dan di beberapa tempat lain. Ironisnya, sejumlah LSM Perempuan tak kalah garang melakukan aksi penolakan. Padahal dasar awal munculnya RUU ini adalah termasuk untyuk melindungi dan menghormati para wanita. RUU Pornografi diproyeksikan untuk melindungi perempuan dari eksploitasi sebagai pemuas sex visual yang mendominasi photografi, majalah pria, televisi, dan film dan berpotensi ke arah pelecehan dan pe-rendah-an martabat kaum hawa.
Kenapa pula seniman harus takut kehabisan ide dan tak bisa mengekspresikan neuron-neuron kreasi yang meluap-luap dalam otaknya ? Bukankah otak itu sangat luas? Dan kreasi seniman tak terbatas? Bukankah ragam bentukdi dunia ini tak terhitung jumlahnya? Bukankah keunikan aktivitas manusia itu tak pernah habis berhenti ? Pornografi hanyalah secuil kecil rangsangan ide dari bongkahan-bongkahan ide gila kreatif para seniman yang jika harus dipinggirkan tak akan mungkin membuat seni menjadi mati karena seniman adalah sosok yang luar biasa yang seharusnya bisa membuat seni tak pernah habis.
Sekalipun penetapan RUU Pornografi ini mungkin juga bermuatan politis, tapi yang jelas RUU ini tidak mengarah kepada suatu keburukan ataupun kemerosotan. Asalkan RUU Pornografi di godog secara matang, jangan sampai multi tafsir, dan perlu uji publik terutama mengenai beberapa pasal yang membuat kita mengernyitkan dahi dan berpotensi tidak hitam putih termasuk istilah/kata/frase/kalimat yang sulit dicerna awam.
Di sinilah perlunya dialog publik terbuka tanpa emosi, tanpa rasa curiga, karena harus disadari bahwa adanya pro dan kontra adalah karena tiap-tiap individu memiliki panutan dan pedoman masing-masing yang berbeda satu sama lain untuk memahami suatu titik masalah.
Banyak yang bilang; “Masih banyak PR pemerintah yang harus segera diselesaikan, terutama masalah ekonomi rakyat, daripada sekedar pusing-pusing mengurusi pornografi yang yang jelas maksudnya.” Memang benar, akan tetapi Pornografi adalah bom waktu, jadi jangan sampai ketika kita terlambat mengantisipasinya kelak kita cuma bisa menangisi pola pikir, pola perilaku dan moralitas anak cucu kita yang terkena ledakannya.
KEPINGIN DISEBUT MISKIN DAN STADIUM AWAL TERJANGKIT VIRUS ANTI MALU
Sepanjang bulan Ramadhan, di mana-mana.
Dulu orang malu disebut miskin, sekalipun sesungguhnya memang miskin. Pinjam uang ke sana kemari untuk meperbaiki rumah, membeli barang, pakaian agar terkesan tidak miskin. Sekarang banyak orang malah ingin dirinya atau keluarganya dimasukkan dalam daftar warga miskin agar bisa mendapat bantuan.
Parahnya, merendahkan diri menjadi pengemis untuk meminta-minta belas kasihan orang yang lewat, dengan duduk di depan pintu gerbang masjid, di pinggir toko, berakting cacat di traffic light menjadi suatu aktivitas yang tidak malu-maluin lagi.
Berani malu dengan cara seperti itu adalah sangat memalukan. Sayangnya di bulan ramadhan jumlah pengemis pasti meningkat sekian kali lipat, karena bulan suci ini bagi mereka selalu dijadikan bulan peluang emas untuk mendapatkan belas kasihan. Termasuk ketika terjadi pembagian sembako maupun zakat, banyak pula yang sebenarnya tidak miskin ikut-ikutan antri berdesakan, demi pemuasan suatu rasa “pingin dapat juga” yang merupakan stadium awal dari terjangkitnya virus “anti malu”.
ANTI KLIMAKS EKSPEKTASI SELEPAS BULAN SUCI
Ramadhan selalu ditutup dengan migrasi temporer namun besar-besaran penduduk Indonesia, mudik, termasuk mereka yang bukan muslim. Demi kepuasan batin, kebanggaan diri dan keluarga, sebuah penantian, suatu harapan dan sebentuk sentuhan langsung dari orang tua dan keluarga, membuat semua orang sulit untuk melewatkannya.
Di balik itu mudik selalu memakan banyak korban. Kecelakaan kereta api, bis, sepeda motor tahun ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi untuk tahun ini bertambah tragis, tanggal 30 ramadhan, sebuah kapal tongkang yang berangkat dari Selayar menuju balai Karimun dan mengangkut setumpuk perasaan rindu pulang para TKI tenggelam ke di peraiaran Port Lang Malaysia, 12 pahlawan keluarga yang dinanti kedatangannya meninggal dunia, dan sebagian penumpang luka-luka dan beberapa masih dinyatakan hilang. Kapal ini tenggelam karena kelebihan muatan, dan penggunaannya tidak sebagai mana mestinya karena ini bukanlah kapal angkutan penumpang. Sebelumnya terjadi pula kecelakaan kapal yang membawa korban, Tanggal 26 Ramadhan, kapal motor Usaha Baru terbakar dan tenggelam di perairan Ambon Maluku. Sebanyak 7 orang yang berencana mudik ke Pulau Seram tewas karena tidak dapat berenang, sedangkan 28 penumpang lainnya selamat.
Memasuki 1 Syawal, hari kemenganagn di tahun ini ditandai pula dengan tragedi bunuh diri seorang pria asal Manado di Masjid Istiqlal. Kejadiannya pasca sholat Ied, bersamaan dengan senyum lebar tulus dan gembira orang-orang yang saling bersalaman dan berpelukan, beriring gema takbir yang bersahutan. Bunuh diri ini direncanakan, karena terbukti dengan di temukannya sepucuk surat. Kenapa harus terjadi di Masjid ?
Masih di 1 Syawal, hari dimana setiap orang memohon maaf dan memberi maaf demi sebuah pencapaian fitrah. Lalu kenapa di tahun ini pula kita disuguhi contoh dari seorang ulama kondang (cendekiawan muslim yang tak perlu disebut namanya di sini) berpengikut sangat banyak dan sangat berpengaruh, menyatakan dengan terang-terangan di hadapan wartawan bahwa dia akan mengusir dan menendang keluar beberapa orang yang dia telah sebutkan jika orang-orang itu bersilaturahmi kepadanya dengan alasan orang-orang tersebut telah menyakiti hatinya.
Apapun dan bagaimanapun kesalahannya, bukankah kita selalu diajarkan untuk memberikan maaf dan menjaga ukhuwah dan silaturahim dengan sesama muslim ? Karena Allah Maha Pengampun. Bukankah seorang Kyai yang sangat berpengaruh dan dengan pengikut fanatik yang berjumlah sangat banyak itu seharusnya memiliki tanggung jawab besar memberikan teladan mengenai bagaimaan memiliki sebuah jiwa besar ? Meski baru sekedar kata-kata dan pengusiran serta penolakan tamu itu belum terjadi, karena memang orang-orang yang dibenci itu memang tidak datang, tapi bagaimanapun juga kata-kata dari seorang yang menjadi panutan seperti beliau seharusnya tidak serta merta keluar begitu saja.
Ramadhan dan Hari Raya selalu diwarnai aktivitas ekonomi yang bergairah dan menimbulkan harapan sebuah masyarakat modern, meski imbas yang tidak dapat ditolak yaitu kenaikan harga barang-barang kebutuhan sehari-hari, inflasi langsung melonjak sekian persen sebanding dengan lonjakan konsumerisme, mencekik mereka yang tidak siap dan tidak memiliki antisipasi. Bahkan BI pun telah menaikkan BI Rate untuk menahan peredaran uang demi sedikit menekan laju inflasi.
Di sinilah dibutuhkan kebijaksanaan diri untuk lebih mampu mengendalikan hasrat manusiawi kita demi mengantisipasi penyesalan di kemudian hari. Terlebih memasuki bulan ini efek krisis keuangan global mulai sedikit-demi sedikit terasa, dan kemungkinan besar akan mempengaruhi pasar modal dan investasi yang berdampak pada terpukulnya perekonomian usaha level menengah kebawah, padahal usaha mikro inilah yang selama ini mampu menyerap sekitar 96,2 % tenaga kerja di Indonesia. Di sini seharusnya pemerintah harus berani jujur kepada masyarakat tentang apa yang sebenarnya terjadi, termasuk mengenai bunga pinjaman luar negeri yang pastinya akan meroket, bukan malah menutupi kenyataan yang terjadi dengan pernyataan bahwa krisis ini tidak akan berdampak di Indonesia, ini membahayakan, karena mungkin akan terjadi syok besar-besaran.
Amat sangat banyak hal yang bisa kita ambil pelajaran dan kita maknai secara mendalam, dan tentu saja pelajaran itu ada dalam kepala kita supaya kita bisa menentukan apa yang seharusnya kita lakukan.
Lalu bagaimana kita seharusnya melihat realitas tersebut? Di negara agamis ini mayoritas penduduk adalah orang Islam dan bagi orang Islam terdapat satu bulan istimewa, Bulan Suci Ramadhan yang salah satu fungsinya adalah sebagai kontrol diri pribadi, pengendalian sosial dan yang paling utama adalah introspeksi hati secara spiritual. Kalau begitu lalu mengapa berita-berita kriminal, korupsi dan perilaku-perilau menyimpang yang merugikan orang lain masih saja betah berlama-lama silih berganti mendominasi headline media massa?
Banyak hal dalam hidup dan kehidupan ini yang harus kita maknai lebih dari sekedar hanya dilewati begitu saja, masih banyak rahasia Allah yang menuntut kita terus mengeksplorasi demi suatu kebenaran dan masih sangat dalam hati kita untuk bisa kita isi dengan empati dan keikhlasan.
Sayangnya sadar atau tidak kita masih terjebak dan sangat sulit membedakan antara ibadah sebagai suatu ritual, tradisi, kebiasaan, dan social activities dengan ibadah sebagai rasa cinta, rasa syukur dan kesempatan berkomunikasi dengan Allah Al Badii’u. Wallahualam. Semoga ini semua bisa mengingatkan saya sendiri dan Insya Allah bagi kita semua, sebelum waktu kita habis dan tumpah terbuang berserakan tanpa makna.
“Ya Allah... ijinkan kami Ya Allah......ijinkan kami bisa bertemu dengan keindahan Ramadhan-Mu lagi Ya Allah...... Amiiin.”
Saturday, September 13, 2008
APAKAH KALAU KITA SEDANG DALAM UNDER PRESSURE ITU ARTINYA KITA BOLEH MENJADI RAJA SEHARI ?

Minggu lalu seorang sahabat saya istrinya mau melahirkan, dia butuh darah AB cukup banyak karena terjadi pendarahan, selama proses operasi sesar, saat itu juga dalam waktu mepet, yang mungkin untuk sekedar menarik napas saja terasa membuang waktu, sementara rumah sakit kehabisan darah, di rumah sakit lain bahkan di PMI setempat stoknya kebetulan sedang kosong, Bertanya ke semua kenalannya tidak ada yang punya darah AB, padahal waktu terus berputar dan darah istrinya terus mengalir keluar. Akhirnya dia mendapat informasi bahwa masih ada darah AB di PMI wilayah lain yang berjarak lebih dari 15 Km dari rumah sakit tempat istrinya berada. Tanpa pikir dua kali langsung dia meluncur dengan sepeda motor, bersama saya yang membonceng dibelakang, sore hari menjelang buka puasa pukul 17.20. Apa yang terjadi selama perjalanan ?
Selama perjalanan, kami sama sekali tidak saling bicara, sahabat saya tampak tegang dan kaku, bahkan ketika saya meminta agar dia membonceng saja, dia tetap tak menyahut. Jarum spidometer sangat jarang menunjukkan angka kurang dari 80 Km/jam, kami 3 kali menerabas lampu merah, beberapa kali hampir terserempet mobil, 2 kali nyaris saja menabrak pejalan kaki dan sekali motor kami menyerempet seorang bapak bersepeda yang membawa sekarung rumput. Saya menengok ke belakang, bapak itu jatuh bersama sepedanya, “ Wan, Wan, wonge tibo wan, piye iki, mosok awake dewe bablas wae iki...( Wan, Wan, orangnya jatuh wan, masak kita tetap jalan terus ....)” ,kataku gugup, sambil terus menepuk-nepuk pundaknya. Sama sekali dia tak mempedulikan ketakutanku, kami tetap melaju.
Kantong darah berhasil didapat. Untungnya, saat kembali, ada mobil ambulance yang mengantar, sahabat saya ikut ambulance, dan saya membawa motor, tapi lewat jalan yang lain, meski lebih jauh tapi setidaknya antisipasi siapa tahu ada yang masih mengenali, bisa-bisa sendirian digebukin orang nanti.
Tapi ternyata bukan cuma orang lain yang tidak di kenal bisa menjadi korban kita, orang–orang yang mungkin kita kenal baik-baik pun bisa sadar atau tidak menjadi makanan kita. Pasti sering kita menyaksikan baik di televisi atau bahkan secara langsung ketika ada cara bagi-bagi sembako, atau pada saat Hari Raya Kurban di masjid masjid besar, Istiqlal misalnya, bisa dipastikan di sana selalu banyak masa yang mengantri tertib hanya dalam sekian menit saja, selanjutnya bisa ditebak, terjadilah kekacauan, berebut kalang kabut, dorong sana dorong sini, gencet sana gencet sini, sikut atas sikut bawah, tak peduli wanita, anak-anak, bahkan nenek-nenek renta yang untuk sekedar berdiri saja harus berjuang keras kini mereka lihat sebagai ancaman besar, menjadi seperti “saingan berat” yang bisa menggagalkan tujuan untuk mendapat se-onggok daging.
Daging berhasil di dapat dan dengan senyum kemenangan meninggalkan “medan laga”, belum cukup sampai di situ, bahkan untuk sekedar ingat kepada para pengantri lain yang sama-sama butuh makan pun tidak. Lihat saja, tidak sedikit yang membawa pulang lebih dari jatah yang seharusnya diterima. Perut memang tak bisa diajak bicara baik-baik ya ?
Nah itulah yang saya maksud dengan raja sehari, dalam keadaan seperti itu kita sepertinya langsung punya label halal dan sah sah saja melakukan apapun, melanggar aturan, membahayakan diri bahkan orang lain, hingga mencelakai dan merugikan orang lain pun sepertinya bisa dimaklumi dan dimaafkan. Dimaklumi? Dimaafkan ? Emang bener gitu ya?
Memang dalam hal ini, terlebih ketika nyawa orang tercinta menjadi taruhan dan kemudian kita seperti sudah kehilangan akal logis dan pikiran dewasa, tapi apakah dengan demikian kita juga boleh mempertaruhkan kepentingan orang lain, mempertaruhkan nyawa orang lain ? hmm....
Oke, suatu saat ketika kita dalam kondisi genting seperti itu dan lalu kita berhasil melewatinya, semoga saja tidak terjadi pada saat yang bersamaan tiba-tiba di kepala kita keluar dua tanduk kecil, wajah memerah dan alis meruncing sambil tersenyum terkekeh-kekeh dalam hati, merayakan kemenangan.
Labels:
catatan perjalanan,
nyata-nyata ada
Subscribe to:
Posts (Atom)
" ...yang kemudian hadir dan terjadi bukanlah suatu kebetulan yang sia-sia,
pertemuan dan perpisahan, ada dan tiada, jatuh dan bangun, tawa dan tangis, tampak dan samar, benar dan salah adalah berbentuk pertanyaan dan jawaban yang terdesain sedemikian rupa menjadi sebuah kepastian dan sama sekali bukan ke-tidak-pasti-an,
karenanya, karena hidup ini bukanlah suatu kebetulan, maka tidak ada alasan untuk meredupkan keyakinan demi memulai sesuatu dan lalu menyempurnakannya."
pertemuan dan perpisahan, ada dan tiada, jatuh dan bangun, tawa dan tangis, tampak dan samar, benar dan salah adalah berbentuk pertanyaan dan jawaban yang terdesain sedemikian rupa menjadi sebuah kepastian dan sama sekali bukan ke-tidak-pasti-an,
karenanya, karena hidup ini bukanlah suatu kebetulan, maka tidak ada alasan untuk meredupkan keyakinan demi memulai sesuatu dan lalu menyempurnakannya."