"Aku tak tahu ini cinta atau apa, yang pasti aku masih lega karena dia masih ada di dekatku meski aku tak tahu dia itu ibuku atau bukan...."AKU terhentak-hentak dalam gendongan ibuku yang berlari-larian mengejar bus itu, panas sekali siang ini, peluh membasahi kaos dan topi peciku yang aku rasa kan mulai gatal ini. ibuku berhenti berlari bus itu melaju kencang, tak terkejar, hanya meninggalkan kepulan asap hitam yang menghantam wajahku, membuat mataku perih. Ibuku berdiri terengah engah, keringat di kulit lehernya yang berkilat jelas sekali dalam pandangan mataku, yang tepat berada di depan lehernya itu. Dalam pelukan ibuku yang erat ini aku tak mengerti mengapa aku selalu dibawanya berlarian mengejar bus-bus besar yang kotor, pengap, bising dan mengakrabi sesaknya penumpang, setiap hari.
Belum selesai juga, lagi... sebuah bus datang, aku kembali terhentak dalam gendongan ibuku yang berlari kencang, sungguh ini sama sekali tidak nyaman. Aku dibawanya melompat masuk ke dalam bus dan menyeruak diantara para penumpang yang berdiri, aku merasakan sepertinya mereka sedikit risih dengan kehadiran kami di tengah mereka.
Dan mulailah seperti biasa, ibuku memainkan sebuah benda di tangannya, benda ini aku tak tahu namanya, sebuah kayu kecil dengan beberapa bekas tutup botol yang dipaku di kayu itu, yang pasti ketika digerak-gerakkan akan mengeluarkan suara yang sejujurnya menurutku sama sekali tidak merdu dan sama sekali tanpa sentuhan harmoni sedikitpun pada komposisi ritmenya.
Tapi bagaimanapun juga benda itulah yang menjelma menjadi orkestra ajaib yang mengiringi ibuku bernyanyi, tanpa bosan meski selalu hanya lagu itu yang didendangkannya.
Ah akhirnya selesai juga ibuku bernyanyi, dan kini tibalah giliranku melakukan tugasku, ya... jangan dikira aku tidak punya job desk di sini, aku juga berperan, dan sepertinya efek dari peranku ini jauh lebih besar dari apa yang dilakukan ibuku tadi, meski tugasku hanya menyusuri bus dari depan ke belakang dalam gendongan ibuku sambil membawa plastik kumal seukuran 20x15 cm bekas bungkus permen Kopiko, tapi dengan itulah orang orang memasukkan uangnya kedalam plastik itu, satu yang aku yakin bahwa mereka memasukkan uangnya bukan karena menghargai suara ibuku yang bernyanyi tadi, tapi aku yakin sekali para penumpang memberikan uangnya karena diriku ini, mereka berempati kepadaku,seorang anak kecil yang belum genap berusia tujuh tahun dengan tubuh kurus, kotor dan yang jelas mereka iba dengan kondisiku yang tidak seperti anak seusiaku pada umumnya... orang bilang aku ini menderita autisme sindroma rett, atau semacam itu.
Aku tak mengerti itu, karena menurutku aku biasa-biasa saja, tidak merasakan sesuatu yang aneh dan kurang dibanding anak-anak lain, setidaknya itu yang aku rasakan. Okelah, memang untuk anak seusiaku seharusnya aku sudah lancar berbicara, tertawa, bernyanyi dan kuakui aku belum mampu melakukan itu, setidaknya sampai detik ini. Tapi aku merasa baik-baik saja kok. Selain itu, seharusnya di usiaku ini aku sudah bisa berlari-larian kemana-mana, dan sekali lagi kuakui aku memang belum bisa melakukan itu, lagi-lagi setidaknya sampai saat ini.
Tetapi dengan keadaanku yang seperti ini nyatanya aku bisa memperoleh uang yang lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak seusiaku yang lain, mereka bisa berlarian sendiri meloncat dari satu bus ke bus lain, menghampiri setiap kendaraan di perempatan lampu merah tanpa perlu digendong ibunya seperti aku, dengan kemandirian mereka itu nyatanya mereka tetap selalu kalah jauh pendapatannya dibandingkan dengan pendapatanku. Dan sekali lagi aku tak tahu kenapa bisa begitu, aku tak tahu apakah keadaanku sekarang ini adalah kelebihanku atau kekuranganku....
Tapi sepertinya dengan keadanku ini banyak orang yang mengasihani aku dan ini nyata-nyata telah banyak memberikan keuntungan berlebih pada ku dan ibuku, tapi satu pertanyaanku lagi yang belum kutemukan jawabannya, yaitu... mengapa aku harus dikasihani? Jika memang aku harus dikasihani mengapa anak-anak yang lain tidak? Mengapa aku dianggap berbeda? Tapi sekali lagi, dengan keadaanku yang seperti ini aku sungguh merasa tidak perlu dikasihani, aku merasa baik-baik saja kok, bukankah aku tidak terlalu berbeda dengan yang lain? Sebenarnya ada apa sih denganku?
Selalu setiap saat aku hanya bisa bertanya kepada diriku sendiri di dalam hati, ya dalam hati saja aku bisa mengungkapkan semua hal yang ada dalam pikiranku karena aku tidak tahu bagaimana caranya mengkonversi buah pikiranku menjadi susunan kalimat yang lalu akan kukeluarkan menjadi suara dari mulutku ini sehingga bisa dipahami oleh orang lain, aku tak tahu bagaimana caranya berbicara seperti orang-orang pada umumnya, setidaknya sampai detik ini. Dan karenanya pula aku juga belum bisa mengatakan sebuah pertanyaan penting kepada wanita berpeluh yang selalu menggendongku ini, untuk memastikan apakah dia benar-benar ibuku....
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Have a nice day.....but don't ever forget to take a look around
.......there's must be somebody or something needs you.....
.......let's check it out.
.......there's must be somebody or something needs you.....
.......let's check it out.
Showing posts with label catatan perjalanan. Show all posts
Showing posts with label catatan perjalanan. Show all posts
Thursday, February 25, 2010
Aku, Bus Penuh Sesak dan Wanita Berpeluh Ini
Labels:
catatan perjalanan,
nyata-nyata ada
Wednesday, June 17, 2009
Vini... Vidi... dan lalu Mengerti.

Sore itu, selepas menyelesaikan tanggung jawab pekerjaan yang mengharuskan seharian berada di Kulon Progo, begitu memasuki wilayah Bantul setelah menyeberangi jembatan perbatasan dengan Kulon Progo, saya menyempatkan diri berbelok ke arah pantai itu, sekedar merefresh memori lama sekaligus merecharge rangsangan kreatifitas, sejenak menghela nafas menjauh dari "jarum jam" yang terus berputar. Tapi yang lebih penting dengan memandang permadani biru yang bergelombang menghampar seperti tak berbatas ini mungkin bisa agak membantu untuk menata kembali hati, pikiran dan perasaan ini, yang selama tepat satu tahun ini, menurut beberapa orang mungkin telah bergolak keluar dari logika.
Angin sore sangat kencang menerpa tubuh yang agak kelelahan, tapi percikan uap-uap air yang ikut terbawa menjadikan kesegaran dan sensasi khas udara pantai, meski suara hembusannya yang berderu menggemuruh cukup memekakkan menerjang tepat ke arah telinga.
Pasir yang ringan membuat dua kaki ini menapak dalam-dalam, sedikit terbenam ke dalam, membuatnya menyeret seperti kerukan pasir yang susul menyusul ketika beranjak bergerak langkah demi langkah, meninggalkan bekas-bekas yang menandakan tapak-tapak sisa perjalanan. Cukup sulit mengangkat kaki, terlebih ketika menemui gundukan yang menanjak agak tinggi.
Masih sangat sepi, karena memang biasanya orang-orang berdatangan sekedar berolahraga, bermain air, bercengkrama bersama keluarga, atau hanya duduk-duduk di bibir pantai ketika matahari sudah menjelang terbenam, itu berarti masih sekitar satu jam lagi pantai ini mulai agak ramai. Menurut standar pantai ini tampak 20 orang saja di area ini sudah bisa didefinisikan sebagai "ramai".
Tak tampak seorang pun saat itu hingga dari arah barat muncul seorang laki-laki setengah baya membawa satu set jaring penagkap ikan, berjalan terus sambil sesekali berhenti memandang ke arah laut, mungkin dia mencari posisi yang paling manis untuk menebar jala dari bibir pantai. Saya mencoba mengikutinya dari kejauhan, karena memang belum tampak manusia yang lain selain bapak penjala ikan itu akhirnya saya duduk sejenak memperhatikan aktivitas satu-satunya manusia selain saya di tempat itu. Lubang-lubang jaring jala yang dibawa bapak itu adalah seleksi nasib yang berlawanan antara si bapak dan bagi si ikan, ikan yang lolos dari lubang jaring berarti dia masih punya kesempatan hidup dan ikan yang lolos itu harus belajar dari kesalahan yaitu "bahwa bermain-main di di dekat daratan ternyata memiliki resiko maut tertangkap manusia". Tapi di sisi bagi si bapak itu, seleksi nasib dari lubang jaring itulah menjadi jawaban bahwa hidup keluarga si bapak penjala ini masih bisa berlanjut, rejeki Allah melalui ikan yang tersangkut, dapur masih bisa berasap.
Merasa cukup memperhatikan bapak penjala ikan itu, saya berjalan ke timur ke arah barisan armada perahu nelayan yang siap "terbang" ke tengah laut nanti malam. Perahu-perahu inilah yang akan menjadi pengantar upaya bertahan hidup sekaligus saksi takdir bagi nelayan yang menaikinya, karena sekali turun ke laut selatan, laut yang ombaknya terkenal sangat beringas itu, berarti keluarga di rumah harus siap menerima kepulangan si ayah dengan berbagai opsi fifty-fifty. Opsi yang paling sering adalah opsi pertama, yaitu ayah pulang dengan tumpukan ikan segar beraroma uang. Atau opsi kedua, yaitu ayah pulang dalam bentuk nama lebih dulu, baru kemudian tubuh sang ayah yang sudah tanpa nyawa menyusul ke daratan beberapa hari kemudian. Atau beberapa opsi lain yang mungkin lebih menyedihkan.
Nelayan tradisional seperti mereka lebih mengandalkan ilmu kebiasaan dan perasaan, mereka mungkin tidak sepenuhnya mengenal peta laut dan tidak kenal klimatologi modern, navigasi pun hanya mengandalkan bintang dan mercusuar di tepi pantai yang sangat mungkin tertutup kabut sepanjang malam. Meskipun tidak mengenal dengan detail tapi para nelayan ini memiliki sense atau perasaan tersendiri yang membuat mereka memiliki keyakinan untuk berani melaut dan mempertaruhkan hidupnya ke dalam sesuatu "yang tidak sepenuhnya mereka kenal secara mendalam itu", keyakinan yang bukan tanpa alasan dan sebenarnya memang realistis.
Tapi tindakan yang hanya mengandalkan "sense" inilah yang kadang membuat manusia tidak berpikir logis lagi pada suatu kondisi tertentu, semacam imajinasi yang gambarannya terkesan sangat indah namun bagaimanapun yang namanya imajinasi tetap imajinasi, dan imajinasi yang berada di luar rasio dan logika mungkin hanyalah mimpi palsu yang melenakan manusia, hingga membuat kita bisa "sedikit" terpeleset dari track etika yang seharusnya. Karena pada suatu kondisi tertentu manusia memang bisa berada dalam perasaan semu dan sikap irasional yang bagi diri sendiri ini adalah mimpi indah, dan karena mimpi indah itulah yang membuatnya lupa bahwa mimpi indah itu ternyata bisa merupakan suatu mimpi buruk bagi orang lain. Sering kita tidak menyadari telah terjebak dalam hal yang satu ini, kelihatannya saya sendiri masih harus banyak belajar dan berproses sendirian dalam hal ini.
Pukul 5 sore telah lewat, dan benar saja, orang-orang mulai berdatangan, mengambil posisi masing-masing di beberapa titik yang disukainya, sedang beberapa pemuda terlihat berlari-lari kecil berolahraga menyusuri pantai. Mengalihkan pandangan agak jauh ke sudut tenggara, dimana terlihat beberapa anak bermain-main mengejar-ngejar kepiting kecil yang banyak besembunyi di lubang-lubang pasir. Kasihan kepiting itu berlari-larian mencoba tetap melindungi diri dengan menutupi diri dengan pasir.
Ada tiga kemungkinan utama dalam urusan kejar mengejar ini, yang pertama beberapa anak mungkin memang akan menangkap kepiting kecil itu untuk sekedar dipakai bermain-main bersenang-senang tanpa tujuan jelas. Kemungkinan kedua adalah diantara mereka mungkin ingin menangkap kepiting itu untuk diselamatkan dan disembunyikan untuk dilindungi agar tidak jadi bahan mainan anak-anak yang lain. Sedangkan kemungkinan yang ketiga mereka mengejar-ngejar kepiting itu karena mereka benar-benar membutuhkan kepiting itu untuk sesuatu yang penting, seperti untuk dijual demi memperbaiki ekonomi keluarga. Karena menurut mereka "mungkin hanya kepiting itulah" yang bisa membantu mereka dalam memperbaiki jalan hidupnya atau untuk mencapai suatu "tujuan mulia suatu cita cita istimewa", "ah... andai kepiting itu bisa memahami isi hati mereka yang terdalam tentu kepiting itu tidak akan lari menjauh". Hanya Allah yang tahu. Dan kemungkinan-kemungkinan semacam ini sangat sering menjadi dilema dalam kehidupan kita sehari-hari, sadar maupun tidak, dan kita sering kurang peka dalam memahami suatu niat dan maksud terdalam dibalik bermacam variasi tindakan-tindakan manusia dalam berinteraksi dengan diri kita.


Ini dia frame yang memuakkan, ceceran sampah.
Pantai ini butuh perhatian dan sedikit sentuhan penataan. Potensi pantai-pantai alami di sepanjang garis pantai selatan memiliki karakter eksotik-nya masing-masing, hanya sisi promosi-lah dan akses masuknya saja yang membedakan. Ini mengakibatkan mubazirnya peluang pembangunan ekonomi dan potensi alam, terlihat dengan adanya beberapa bangunan yang semula dibangun dan diperuntukkan sebagai fasilitas umum kini terbengkalai tak terawat.
Meskipun dengan dibiarkan saja seperti inipun sebenarnya masyarakat sekitar juga sudah banyak memperoleh peluang ekonomi, namun tentunya tidak maksimal dan tanpa peningkatan. Beberapa warga setempat malah mengaku lebih senang jika pantai tidak dikomersilkan, dibiarkan alami begitu saja, mungkin ada kekhawatiran dari beberapa warga terhadap lahirnya persaingan dengan kepentingan kapitalistik dan bisa mengancam mata pencahariannya yang sudah dijalani turun temurun ini atau ketakutan terhadap goyahnya tatanan sistem sosial budaya yang sudah terbentuk damai di wilayah ini.
Tapi apakah memang sebaiknya suatu kondisi yang telah berjalan baik mungkin seharusnya dibiarkan berjalan alami saja? Apalagi kondisi ini sangat rapuh dan terjaga, yang jika hanya berbekal feelling saja malah sangat beresiko merusak suasana dan tatanan hubungan yang sudah baik, benarkah memang seharusnya demikian?
Tapi jika hanya menunggu semua berjalan alami apakah mimpi itu akan terwujud sendiri? Kadang memang dibutuhkan suatu dobrakan berani untuk menyingkap rahasia, yang biasanya menyalahi kaidah dan kebiasaan, yang bisa jadi akan merubah kesan dan image diri, yang membuat diri kita sendiri seperti menjadi orang lain. Bagaimanapun setiap tindakan selalu memiliki resiko, salah satunya berujung pada antiklimaks dari suatu harapan, yaitu kita malah menjadi semakin jauh dari tujuan yang ingin dicapai itu jika dibandingkan ketika sebelum melakukan suatu tindakan apapun. Jadi... memang every brave heart is always facing an unexpected action risk.
Oke, saatnya melanjutkan perjalanan lagi. Matahari telah makin menguning dan kini meringkuk menyudut hilang menyisakan semburat pita jingga halus yang unik. Semoga besok pagi ketika dia muncul kembali dari arah timur muncul pula suatu kejutan keajaiban yang tak terduga, kalaupun tidak semoga saja segalanya bisa kembali berjalan wajar seperti biasanya.
Wednesday, May 13, 2009
Anak Kecil Itu Mengajariku Sesuatu....
BEBERAPA hari yang lalu, melewati sebuah jalan di Kotagede, Jogja. Saya menghentikan kendaraan di pinggir jalan karena tiba - tiba handphone berbunyi, sebuah telepon masuk dari seorang saudara. Tidak lama, hanya beberapa menit saja.
Belum sempat handphone kembali masuk ke dalam saku, agak jauh diseberang jalan saya melihat seorang anak kecil perempuan, mungkin usianya sekitar tiga atau empat tahun, dia terjatuh, tertelungkup, sepertinya tersandung sesuatu. Sebenarnya selama menerima telepon tadi, saya sudah memperhatikan anak itu sejak dari kejauhan, dia berjalan sendirian dengan irama jalannya yang lucu dan belum sempurna itu, sambil menikmati es krim ditangannya. Dan es krim itu pun kini telah jatuh ke tanah.
Hampir saya beranjak menghampirinya, tapi kemudian saya urungkan niat itu. Karena tiba-tiba dia langsung berdiri lagi, tidak menangis.... tidak tampak kesakitan sama sekali. Mengibas-ibaskan pakaianannya dengan kedua tangannya, membersihkan lututnya yang kotor tekena tanah dan tidak hanya itu.... karena anak itu lalu memungut kembali bungkus es krim yang jatuh di depannya...., saya sempat khawatir jangan-jangan dia mau memakannya lagi, tapi ternyata tidak, dia berjalan beberapa meter menuju sebuah tong sampah... dan kemudian.... membuangnya.
Seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya, kini dia berjalan lagi. Hanya kali ini dia setengah berlari berjingkat sambil sesekali berhenti membetulkan sandalnya yang berkali-kali hampir terlepas dari kaki kecilnya itu, saya masih memperhatikannya sampai dia menghilang di tikungan dan selepas itu baru saya merasakan di bibir saya telah tersungging senyum kecil, entah untuk apa senyum itu, untuk kelucuanya, untuk rasa terkesan saya, atau untuk sebuah pelajaran yang baru saja dia berikan pada saya, secara tidak sengaja.....
Mungkin peristiwa tersebut tampak biasa saja, sepertinya tidak ada yang istimewa, tapi bagaimanapun saya hanya ingin mengabadikan peristiwa sekilas tadi sekedar untuk mengingatkan diri saya untuk sesegera mungkin langsung "berdiri" kembali jika suatu saat nanti saya "terjatuh". Anak kecil itu saja tidak "menangis", "tidak merintih" dan tampak "baik-baik saja", dan lalu segera bangkit, berdiri. Tidak sampai di situ saja, "tidak berlama-lama mengurusi dirinya sendiri" yang kotor karena terjatuh, dia masih sempat-sempatnya langsung memikirkan dan melakukan suatu hal lain di luar kepentingannya, berjalan beberapa meter menuju sebuah tong sampah untuk membuang bungkus es krimnya yang telah terjatuh dan kotor itu.
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Belum sempat handphone kembali masuk ke dalam saku, agak jauh diseberang jalan saya melihat seorang anak kecil perempuan, mungkin usianya sekitar tiga atau empat tahun, dia terjatuh, tertelungkup, sepertinya tersandung sesuatu. Sebenarnya selama menerima telepon tadi, saya sudah memperhatikan anak itu sejak dari kejauhan, dia berjalan sendirian dengan irama jalannya yang lucu dan belum sempurna itu, sambil menikmati es krim ditangannya. Dan es krim itu pun kini telah jatuh ke tanah.
Hampir saya beranjak menghampirinya, tapi kemudian saya urungkan niat itu. Karena tiba-tiba dia langsung berdiri lagi, tidak menangis.... tidak tampak kesakitan sama sekali. Mengibas-ibaskan pakaianannya dengan kedua tangannya, membersihkan lututnya yang kotor tekena tanah dan tidak hanya itu.... karena anak itu lalu memungut kembali bungkus es krim yang jatuh di depannya...., saya sempat khawatir jangan-jangan dia mau memakannya lagi, tapi ternyata tidak, dia berjalan beberapa meter menuju sebuah tong sampah... dan kemudian.... membuangnya.
Seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya, kini dia berjalan lagi. Hanya kali ini dia setengah berlari berjingkat sambil sesekali berhenti membetulkan sandalnya yang berkali-kali hampir terlepas dari kaki kecilnya itu, saya masih memperhatikannya sampai dia menghilang di tikungan dan selepas itu baru saya merasakan di bibir saya telah tersungging senyum kecil, entah untuk apa senyum itu, untuk kelucuanya, untuk rasa terkesan saya, atau untuk sebuah pelajaran yang baru saja dia berikan pada saya, secara tidak sengaja.....
Mungkin peristiwa tersebut tampak biasa saja, sepertinya tidak ada yang istimewa, tapi bagaimanapun saya hanya ingin mengabadikan peristiwa sekilas tadi sekedar untuk mengingatkan diri saya untuk sesegera mungkin langsung "berdiri" kembali jika suatu saat nanti saya "terjatuh". Anak kecil itu saja tidak "menangis", "tidak merintih" dan tampak "baik-baik saja", dan lalu segera bangkit, berdiri. Tidak sampai di situ saja, "tidak berlama-lama mengurusi dirinya sendiri" yang kotor karena terjatuh, dia masih sempat-sempatnya langsung memikirkan dan melakukan suatu hal lain di luar kepentingannya, berjalan beberapa meter menuju sebuah tong sampah untuk membuang bungkus es krimnya yang telah terjatuh dan kotor itu.
**********
Setelah menjumpai peristiwa kecil tadi, baru saya sadari, saya sendiri masih sering terlupa, ketika saya sedang down, mendapat kesulitan dan berada dalam masalah, sering saya hanya sibuk memikirkan bagaimana masalah saya sendiri itu segera selesai dan menomor-duakan bahkan melupakan orang-orang disekitar saya yang pada saat yang sama sedang bermasalah juga. Dan parahnya, masalah yang di dapat orang-orang di sekitar saya tersebut ternyata, baru saya sadari juga, muncul karena saya terlalu sibuk memikirkan penyelesaian masalah saya sendiri dan melupakan keberadaan dan kepentingan mereka. Kasihan sekali mereka tidak salah apa-apa, tapi tiba-tiba mendapat kesulitan karena efek dari "ketidak-sadaran" saya. "Maafkan saya ya.... semoga saya tidak mengulanginya lagi...."
Labels:
catatan perjalanan,
manual kehidupan,
special moment
Tuesday, March 3, 2009
Keindahan Akan Menjadi Pesona Sejati Jika Dia Telah Membatasi Diri
MALAM itu, pulang agak larut setelah sedikit memaksa diri untuk lembur menyelesaikan tanggung jawab, yah.. setidaknya selesai sebelum deadline kan lebih baik, paling nggak masih punya sisa waktu untuk menyempurnakannya.
Seharian penuh hujan turun sampai malam, Alhamdulillah seger rasanya dan saya yakin semua tanaman pasti tersenyum menikmatinya.
Sudah hampir jam 12 malam, sampai rumah hujan sudah reda, tinggal rintik mungil yang jatuh ringan dengan lembut, semua benda masih basah dan tampak indah mengkilap tertimpa sinar lampu jalan.Seharian penuh hujan turun sampai malam, Alhamdulillah seger rasanya dan saya yakin semua tanaman pasti tersenyum menikmatinya.
Beberapa saat sebelum mekar sempurna
Entah kenapa, atau mungkin karena pikiran dan perasaan saya memang lagi aneh saat itu, belum sempat masuk rumah pandangan mata saya langsung tertuju pada bunga itu, padahal biasanya saya tidak terlalu heboh menjumpai makhluk indah berwarna putih ini, tidak terlalu memberi perhatian khusus ketika bunga ini mekar di bulan-bulan sebelumnya.
Orang-orang di rumah dan tetangga sebelah hampir selalu heboh ketika bunga unik ini mekar, Bunga Wijayakusuma namanya alias Epiphyllum oxypetalum atau ada juga yang mengenalnya sebagai Queen of Night. Si Putih yang harum ini termasuk jenis tumbuhan kaktus dan konon dahulu kala bunga seperti ini adalah simbol istimewa para raja Jawa.


Tepat pada puncak pekat malam, dia memberi kejernihan,
sesaat sebelum kemudian layu.
Ya nggak berlebihan juga sebenarnya jika mereka heboh, karena bunga ini kan punya banyak “hanya”, antara lain: hanya mekar pada malam hari tapi sayangnya hanya mekar semalam saja, selepas Isya’ semakin merekah perlahan dengan anggun, hingga puncaknya memancar lebar pada tengah malam dan sudah itu mengatup kembali seiring berjalannya malam melewati dini hari menjelang pagi, hingga sepersekian saat menjelang Shubuh bunga ini telah layu, mati dan tak akan merekah lagi, tinggal menunggu bakal bunga yang lain yang mungkin muncul pada tunas-tunas cabang berbeda yang entah kapan lagi akan mekar.sesaat sebelum kemudian layu.
Memang keindahan yang memancarkan pesona sejati harus mau ikhlas membatasi diri, karena jika tidak, ketika tidak ada batas dan dengan mudahnya siapa saja bisa melihat, menjumpai, menemui, bahkan menatap dan menyentuhnya maka keindahan itu mungkin lama-kelamaan menjadi cuma sekedar kata-kata lisan sebagai pronoun atau kata ganti untuk menyebut orang atau suatu benda saja, akan mudah meleleh seiring waktu berjalan, hambar dan lalu dilupakan begitu saja ketika pesonanya mulai hilang.
Untuk mendekati apalagi melakukan treatment lebih jauh terhadap suatu keindahan yang dibatasi itu, kadang kita merasa tidak siap, tidak capable dan tiba-tiba saja merasa diri ini tidak layak, maka yang muncul kemudian adalah kekhawatiran bahwa kita akan semakin jauh dan takut kehilangan pesonanya jika kita sering berada di dekatnya.
Takut kehilangan pesonanya…? Perjalanan dan rahasia kehidupan selalu akan dihadapkan pada kejutan-kejutan istimewa hingga kemudian sampai pada persimpangan yang manusiawi dan memang membingungkan…. Sejak Ibnu Haitham sampai Albert Einstein belum ada yang mampu merumuskan formula hitungnya. Bahkan Adam Smith atau Sigmund Freud dan Ibnu Khaldun pun tidak sanggup menjelaskannya dengan thesis mereka yang terkenal logis-empiris itu. Maka Allah pasti akan selalu menunjukkan kekuasaanNya….
“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.
( At Taghabun : 4)
( At Taghabun : 4)
Monday, February 2, 2009
"Kemarilah nak...sini, duduk dekat ayah...."
Memperhatikan dan mengamati perilaku seseorang, bagi saya menjadi suatu aktivitas yang excited, terlebih jika "gerak-gerik" orang tersebut memberikan kesan yang mendalam hingga menghadirkan pikiran, perasaan dan pelajaran baru.
Belum lama ini di suatu sore saya memperhatikan seorang ayah muda, tetangga sebelah, menimang-nimang anak pertamanya yang belum genap berusia lima bulan. Demikian riang tampak bahagia dua orang anak manusia ini, si bayi tampak damai dan beberapa kali tersenyum lebar kelihatan sangat senang ditimang sang ayah, sedangkan sang ayah sendiri dengan riangnya menimang sambil menyanyikan lagu-lagu yang nggak jelas lirik dan nadanya, ciptaan spontannya sendiri barangkali, tapi yang jelas lagu itu sangat riang gembira menggoda dan memanjakan si bayi. Tampak sekali sang ayah sedang sangat bahagia sore itu.
Mungkin yang terlintas di benak sang ayah saat itu, "Apapun yang akan terjadi kelak, engkau adalah malaikat kecilku, engkaulah mimpiku, harapanku. Oh...putra mahkotaku sampai kapanpun aku akan memelukmu, menimangmu, membelaimu, menciumimu selama-lamanya. Aku akan melindungimu nak, bahkan tak kan kubiarkan seekor semutpun mampu menggigit kulitmu". Dan sangat wajar hampir semua ayah berperilaku seperti itu pada anak bayinya tercinta.
"Hmm... tapi akankah selamanya demikian ya?"
Karena di bagian bumi lain seorang ayah memukuli dan menghajar habis-habisan anak laki-lakinya ketika si anak yang mulai menginjak usia 17 tahun membuat mobil sang ayah lecet tergores ketika semalam dipakai si anak menghabiskan malam minggu bersama teman-temannya sampai larut malam.
Sementara itu dalam ruang dan waktu yang berbeda, seorang ayah yang sejak si anak berusia 15 tahun hingga kini, 10 tahun kemudian, ketika si anak sudah berencana untuk menikah, keduanya tidak pernah bertegur sapa, sepatah katapun tidak. Hanya karena ego dan harga diri keduanya yang memuncak, idealisme dan prinsip keras yang telah membunuh kata hati kedua anak beranak ini hingga mati suri selama bertahun-tahun.
Atau seorang ayah yang notabene anggota TNI, dengan prinsip keras kedisiplinannya mengusir anak gadisnya dari rumah dan memastikan tidak akan mengakui lagi dia sebagai anak, karena si anak tertangkap basah menggunakan jarum suntik di kamarnya untuk memuaskan dahaga narkoba.
Di sisi lain, karena ketidak cocokan dengan ayahnya, seorang anak pergi meninggalkan rumah tanpa permisi, tidak pernah kembali lagi, dan lebih parah lagi kali ini, beberapa waktu lalu ditemukan seorang pria tua tewas di dalam rumahnya dengan kepala berdarah bekas pukulan keras benda tumpul, diketahui kemudian bahwa pelakunya adalah anak kandungnya sendiri yang kondisi jiwanya sehat wal afiat, sama sekali tidak sakit jiwa. Masya Allah.
Ayah dan Anak. Sebenarnya siapa yang layak berposisi sebagai "dipersalahkan"? Atau memang tidak seharusnya ada yang dipersalahkan? Karena bukankah pada dasarnya memang harus ada yang mau meletakkan ego dan mendengarkan, memahami karakter dan keinginan orang lain?
Atau lihat kisah heroik almarhum Rony Patinasarany, legenda sepak bola Indonesia, yang dengan ketabahan dan kekuatan cinta seorang ayah mencurahkan seluruh sisa hidupnya demi menyelamatkan kedua anaknya dari jebakan narkoba. Lihat pula apa yang dikisahkan Andrea Hirata, dalam "Sang Pemimpi" ketika sikap seorang ayah yang amat sangat antusias bergairah mengambil raport si Ikal yang menduduki peringkat 3 besar sekolah, dan ketika tahun berikutnya rangkingnya turun puluhan tingkat hingga angka 75 dari 160 siswa, sang ayah tetap bersikap sama, bersemangat dan bergairah, mengayuh sepada puluhan kilometer dengan memakai pakaian terbaiknya pergi ke sekolah mengambilkan rapor sang anak tercinta.
Secara umum seorang ayah yang mendapati prestasi anaknya anjlok amat sangat drastis akan menumpahkan amarah besar dan hukuman keras, tapi dia tidak. Tidak marah, tidak kecewa, hanya seutas senyum sambil menepuk-nepuk pundak sang anak kebanggaannya lalu pulang tanpa sepatah katapun. Dan sadar atau tidak sikap datar, misterius seperti inilah yang sebenarnya mampu menjadi treatment psikologis untuk membuat anak menjadi merasa bersalah secara halus hingga motivasi berprestasi untuk memperbaiki diri yang kemudian muncul adalah motivasi dari dalam diri sendiri bukan motivasi karbitan karena tertekan atau terpaksa. Bagaimanapun sifat dan karakternya, bukankah setiap manusia lebih merasa "dihargai" jika mendapatkan kebebasan secara penuh dan merasa sangat "berharga" ketika dapat berekspresi tanpa tekanan?
Atau sikap ayah yang satu ini, seperti terlukis dalam sktesa sederhana video berikut ini.....
"Ah...indahnya...."
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Belum lama ini di suatu sore saya memperhatikan seorang ayah muda, tetangga sebelah, menimang-nimang anak pertamanya yang belum genap berusia lima bulan. Demikian riang tampak bahagia dua orang anak manusia ini, si bayi tampak damai dan beberapa kali tersenyum lebar kelihatan sangat senang ditimang sang ayah, sedangkan sang ayah sendiri dengan riangnya menimang sambil menyanyikan lagu-lagu yang nggak jelas lirik dan nadanya, ciptaan spontannya sendiri barangkali, tapi yang jelas lagu itu sangat riang gembira menggoda dan memanjakan si bayi. Tampak sekali sang ayah sedang sangat bahagia sore itu.
Mungkin yang terlintas di benak sang ayah saat itu, "Apapun yang akan terjadi kelak, engkau adalah malaikat kecilku, engkaulah mimpiku, harapanku. Oh...putra mahkotaku sampai kapanpun aku akan memelukmu, menimangmu, membelaimu, menciumimu selama-lamanya. Aku akan melindungimu nak, bahkan tak kan kubiarkan seekor semutpun mampu menggigit kulitmu". Dan sangat wajar hampir semua ayah berperilaku seperti itu pada anak bayinya tercinta.
"Hmm... tapi akankah selamanya demikian ya?"
Karena di bagian bumi lain seorang ayah memukuli dan menghajar habis-habisan anak laki-lakinya ketika si anak yang mulai menginjak usia 17 tahun membuat mobil sang ayah lecet tergores ketika semalam dipakai si anak menghabiskan malam minggu bersama teman-temannya sampai larut malam.
Sementara itu dalam ruang dan waktu yang berbeda, seorang ayah yang sejak si anak berusia 15 tahun hingga kini, 10 tahun kemudian, ketika si anak sudah berencana untuk menikah, keduanya tidak pernah bertegur sapa, sepatah katapun tidak. Hanya karena ego dan harga diri keduanya yang memuncak, idealisme dan prinsip keras yang telah membunuh kata hati kedua anak beranak ini hingga mati suri selama bertahun-tahun.
Atau seorang ayah yang notabene anggota TNI, dengan prinsip keras kedisiplinannya mengusir anak gadisnya dari rumah dan memastikan tidak akan mengakui lagi dia sebagai anak, karena si anak tertangkap basah menggunakan jarum suntik di kamarnya untuk memuaskan dahaga narkoba.
Di sisi lain, karena ketidak cocokan dengan ayahnya, seorang anak pergi meninggalkan rumah tanpa permisi, tidak pernah kembali lagi, dan lebih parah lagi kali ini, beberapa waktu lalu ditemukan seorang pria tua tewas di dalam rumahnya dengan kepala berdarah bekas pukulan keras benda tumpul, diketahui kemudian bahwa pelakunya adalah anak kandungnya sendiri yang kondisi jiwanya sehat wal afiat, sama sekali tidak sakit jiwa. Masya Allah.
Ayah dan Anak. Sebenarnya siapa yang layak berposisi sebagai "dipersalahkan"? Atau memang tidak seharusnya ada yang dipersalahkan? Karena bukankah pada dasarnya memang harus ada yang mau meletakkan ego dan mendengarkan, memahami karakter dan keinginan orang lain?
Atau lihat kisah heroik almarhum Rony Patinasarany, legenda sepak bola Indonesia, yang dengan ketabahan dan kekuatan cinta seorang ayah mencurahkan seluruh sisa hidupnya demi menyelamatkan kedua anaknya dari jebakan narkoba. Lihat pula apa yang dikisahkan Andrea Hirata, dalam "Sang Pemimpi" ketika sikap seorang ayah yang amat sangat antusias bergairah mengambil raport si Ikal yang menduduki peringkat 3 besar sekolah, dan ketika tahun berikutnya rangkingnya turun puluhan tingkat hingga angka 75 dari 160 siswa, sang ayah tetap bersikap sama, bersemangat dan bergairah, mengayuh sepada puluhan kilometer dengan memakai pakaian terbaiknya pergi ke sekolah mengambilkan rapor sang anak tercinta.
Secara umum seorang ayah yang mendapati prestasi anaknya anjlok amat sangat drastis akan menumpahkan amarah besar dan hukuman keras, tapi dia tidak. Tidak marah, tidak kecewa, hanya seutas senyum sambil menepuk-nepuk pundak sang anak kebanggaannya lalu pulang tanpa sepatah katapun. Dan sadar atau tidak sikap datar, misterius seperti inilah yang sebenarnya mampu menjadi treatment psikologis untuk membuat anak menjadi merasa bersalah secara halus hingga motivasi berprestasi untuk memperbaiki diri yang kemudian muncul adalah motivasi dari dalam diri sendiri bukan motivasi karbitan karena tertekan atau terpaksa. Bagaimanapun sifat dan karakternya, bukankah setiap manusia lebih merasa "dihargai" jika mendapatkan kebebasan secara penuh dan merasa sangat "berharga" ketika dapat berekspresi tanpa tekanan?
Atau sikap ayah yang satu ini, seperti terlukis dalam sktesa sederhana video berikut ini.....
"Ah...indahnya...."
Wednesday, January 21, 2009
DI RUANGAN INI ( Tentang Esok Pagi, Sebuah Pilihan dan Ke-pantas-an Memiliki Keindahan)
Ruangan ini penuh dengan rak buku, me-nyembul-nyembul, tampak seperti deretan puluhan gedung metropolis yang angkuh. Aku masih berjalan di lorong-lorong sempitnya. Hampir dua jam, sampai aku melihat sosok yang cukup menarik perhatianku….
Aha…!!! Ada Mister Wili disana, William Shakespeare lengkapnya. Ini dia kesempatanku mempertanyakan rasa penasaranku selama ini. “Sore tuan”, sapaku, “Emm…tuan, ngomong-ngomong tak tahukah anda, sebenarnya Romeo dan Juliet itu ingin sekali mengakhiri kisahnya dengan bahagia, mereka ingin cabut dari Verona lalu tinggal di sebuah pondok bambu di pinggir sungai Bengawan Solo?”, tanyaku tanpa basa-basi lagi. Aku terkejut, melebihi ke-terkejutanku mendapati kenyataan bahwa dia ternyata mengerti Bahasa Indonesia, karena tak kuduga Mr. Shakespeare menjawab dengan nada tinggi ;” Hei bocah...!!, pena-mu saja masih sering lepas dari tangan, tahu apa kamu soal sastra, hah?”
…Oke..... Tanpa permisi aku beranjak pergi menuju bagian atas rak buku paling ujung. Ada Pak Marah Rusli disana, sedang duduk-duduk santai tampaknya. Langsung saja aku menggugat masterpiece-nya yang terkenal itu; “Maaf bapak, tega nian anda memporak-porandakan cinta sejati Siti Nurbaya? Kenapa? Punya salah apa sih dia sama anda?”. Bapak tua berkacamata besar itu tersenyum kecut, tak sepatah katapun. Dia hanya melirikkan mata ke arah pintu, mengisyaratkan agar aku segera angkat kaki dari hadapannya. Akupun tahu diri. Aku langsung melangkah pergi. Tapi aku tetap yakin, aku juga berhak berada di sana, bersanding, bertukar pikiran bersama mereka. Aku akan kembali lagi ke tempat itu, esok pagi.
Eits, tapi tunggu…
Kupu kupu itu. Ada kupu kupu indah diatas meja, di sebelah jendela, di sudut ruangan……….
Melihat kupu-kupu itu membuatku terbayang pada kupu-kupu daun ranum eucalyptus nun jauh di suatu tempat, nun jauh pula lebih indah dari kupu-kupu di atas meja itu.
Kupu-kupu daun eucalyptus, aku telah lebih dari sekedar mengaguminya.
Kupu-kupu daun eucalyptus itu, bersayap panjang, sayap panjang bagai daun ranum eucalyptus yang harum, sayap panjang yang indah, sayap panjang sebagai pesan dari langit, untuk membuatnya sangat bersih.
Kupu-kupu daun eucalyptus, dia selalu terlindungi di dalam bola kaca. Bola kaca itu membuatnya bebas dari godaan, jauh dari cela, aman dari sentuhan.
Hanya dari jauh, hanya dari jauh saja saat ini aku bisa mengaguminya.
Hanya sesaat, selalu hanya sesaat saja, karena aku takut akan kehilangan pesonanya. Aku takut bola kaca itu akan retak saat aku berada di dekatnya.
“Kupu-kupu daun ranum eucalyptus, aku akan pergi dulu sampai aku selesai mengumpulkan untaian benang. Untaian benang yang akan membuatku selalu siap menyulam bola kaca-mu, jika retak nanti.
"Semoga untaian benang itu telah terkumpul, esok pagi.
“Kupu kupu diatas meja di sebelah jendela di sudut ruangan, terima kasih, kamu telah menjadikanku bergairah kembali dengan membuatku terbayang pada indahnya kupu-kupu daun ranum eucalyptus, di sana, nun jauh di suatu tempat.”
(hmm... bener juga kata Einstein, imajinasi memang lebih berharga - atau mungkin lebih asyik kali ya.... - dari ilmu pasti, atau saya yang salah mengartikan maksud dari kalimat Einstein itu?)
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Aha…!!! Ada Mister Wili disana, William Shakespeare lengkapnya. Ini dia kesempatanku mempertanyakan rasa penasaranku selama ini. “Sore tuan”, sapaku, “Emm…tuan, ngomong-ngomong tak tahukah anda, sebenarnya Romeo dan Juliet itu ingin sekali mengakhiri kisahnya dengan bahagia, mereka ingin cabut dari Verona lalu tinggal di sebuah pondok bambu di pinggir sungai Bengawan Solo?”, tanyaku tanpa basa-basi lagi. Aku terkejut, melebihi ke-terkejutanku mendapati kenyataan bahwa dia ternyata mengerti Bahasa Indonesia, karena tak kuduga Mr. Shakespeare menjawab dengan nada tinggi ;” Hei bocah...!!, pena-mu saja masih sering lepas dari tangan, tahu apa kamu soal sastra, hah?”
…Oke..... Tanpa permisi aku beranjak pergi menuju bagian atas rak buku paling ujung. Ada Pak Marah Rusli disana, sedang duduk-duduk santai tampaknya. Langsung saja aku menggugat masterpiece-nya yang terkenal itu; “Maaf bapak, tega nian anda memporak-porandakan cinta sejati Siti Nurbaya? Kenapa? Punya salah apa sih dia sama anda?”. Bapak tua berkacamata besar itu tersenyum kecut, tak sepatah katapun. Dia hanya melirikkan mata ke arah pintu, mengisyaratkan agar aku segera angkat kaki dari hadapannya. Akupun tahu diri. Aku langsung melangkah pergi. Tapi aku tetap yakin, aku juga berhak berada di sana, bersanding, bertukar pikiran bersama mereka. Aku akan kembali lagi ke tempat itu, esok pagi.
Eits, tapi tunggu…
Kupu kupu itu. Ada kupu kupu indah diatas meja, di sebelah jendela, di sudut ruangan……….
Melihat kupu-kupu itu membuatku terbayang pada kupu-kupu daun ranum eucalyptus nun jauh di suatu tempat, nun jauh pula lebih indah dari kupu-kupu di atas meja itu.
Kupu-kupu daun eucalyptus, aku telah lebih dari sekedar mengaguminya.
Kupu-kupu daun eucalyptus itu, bersayap panjang, sayap panjang bagai daun ranum eucalyptus yang harum, sayap panjang yang indah, sayap panjang sebagai pesan dari langit, untuk membuatnya sangat bersih.
Kupu-kupu daun eucalyptus, dia selalu terlindungi di dalam bola kaca. Bola kaca itu membuatnya bebas dari godaan, jauh dari cela, aman dari sentuhan.
Hanya dari jauh, hanya dari jauh saja saat ini aku bisa mengaguminya.
Hanya sesaat, selalu hanya sesaat saja, karena aku takut akan kehilangan pesonanya. Aku takut bola kaca itu akan retak saat aku berada di dekatnya.
“Kupu-kupu daun ranum eucalyptus, aku akan pergi dulu sampai aku selesai mengumpulkan untaian benang. Untaian benang yang akan membuatku selalu siap menyulam bola kaca-mu, jika retak nanti.
"Semoga untaian benang itu telah terkumpul, esok pagi.
“Kupu kupu diatas meja di sebelah jendela di sudut ruangan, terima kasih, kamu telah menjadikanku bergairah kembali dengan membuatku terbayang pada indahnya kupu-kupu daun ranum eucalyptus, di sana, nun jauh di suatu tempat.”
(hmm... bener juga kata Einstein, imajinasi memang lebih berharga - atau mungkin lebih asyik kali ya.... - dari ilmu pasti, atau saya yang salah mengartikan maksud dari kalimat Einstein itu?)
Thursday, January 1, 2009
"Dia" Tahu Apa Yang Kita Lakukan
Kalimat itu keluar dari mulut seorang laki laki berumur sekitar 30-an lebih yang sempat ngobrol dengan saya selepas dhuhur di serambi masjid Gede Kauman Jogja beberapa hari yg lalu. Laki-laki berkemeja putih rapi yang dimasukkan ke dalam celana hitamnya itu adalah seorang sales kaus kaki dan ikat pinggang.
Menurut ceritanya, dia baru saja berkeliling berjalan kaki keluar masuk kantor dan sekolahan, menghampiri penunggu bus di halte bis trans Jogja, melangkah masuk ke perumahan dan perkampungan, lalu berbelok mencari peruntungan di seputaran alun alun utara, hingga tepat tengah hari ini melepas lelah di Masjid Gede Kauman di sebelah barat alun alun utara. “Walah dikit mas, belum nutup”, jawabnya ketika saya tanya, dia enggan menyebutkan hasil jualannya hari ini. “Apalagi sekarang ini sudah banyak kantor yang melarang para sales masuk, nggak tahu lah pokoknya asal jalan, kalau rejekinya lagi ada juga nggak bakalan kemana”, lanjutnya. Masih mengutip kalimatnya saat itu; “Pekerjaan yang benar-benar halal itu zaman sekarang ini makin berkurang, sangat sulit ditemui”, katanya, tetapi, tambahnya lagi; “Yang sulit ditemui itu bukan berarti tidak ada kan…”. Wallahu’alam.
Terlepas dari definisi “dikit” menurut dia itu dikit yang bagaimana, tapi setahu saya bagi para penjual keliling yang berjalan kaki bermil-mil, mandi keringat, ditolak dan diusir itu penghasilan dari jualan dengn model seperti ini belum bisa dibanggakan, belum lagi penjual es dengan bergerobak dorong yang makin kalah dengan es cream keliling ala barat, atau fragmen seorang pedagang cermin keliling dalam film Kun-Fayakun yang rasio antara usaha keras dan hasil yang didapat sangat tidak layak. Karena banyak orang yang tinggal duduk duduk ditempat teduh saja dengan santainya bisa mendapatkan penghasilan yang lumayan banyak, lebih dari para worker jalanan tadi. Setidaknya orang-orang seperti itu ada tidak lebih dari 10 meter didepan tempat kami duduk, tepatnya di depan pintu masuk masjid, duduk beralaskan koran dan kain dengan properti utama sebuah kaleng ataupun mangkuk kecil dari plastik, ya, para pengemis. Mereka sehat-segar bugar, dan beberapa dari mereka sebenarnya tidaklah miskin-miskin amat. Pendapatan mereka bisa mencapai Rp.30.000-Rp.50.000 sehari, bahkan lebih, terutama ketika hari jumat dan hari-hari libur dimana para wisatawan sedang booming. Yah..,setidaknya begitulah yang pernah saya dengar dari cerita mas-mas petugas parkir masjid ini. Ada sebuah segitiga unik saat itu, yang membuat saya tersenyum kecil sendiri, segitiga unik tentang rahasia kehidupan yang berada dalam radius tak lebih dari 10 meter, antara saya, sales kaus kaki itu dan para pengemis yang ada di depan kami.
Jadi teringat kejadian tahun lalu saat masih tinggal di Solo. Suatu hari minggu siang menjelang Ashar saya bersama dua orang teman duduk di teras depan rumah kos, lewatlah seorang bapak yang sudah cukup tua, penjual dipan kayu dengan teriakan khasnya yang melolong tiada gentar itu. Dua buah dipan kayu ditumpuk, diikat sedemikian rupa dengan tali diatas gerobak dorong dengan bantuan sebuah balok kayu kecil, sebagai tonggak penambat, dan sang bapak menarik gerobak ber-dipan itu langkah demi langkah. Tak ada kejadian apa-apa, dia lewat begitu saja seperti biasa. Hingga setelah agak jauh ---meski teriakannya tetap terdengar--- tiba-tiba bapak kos keluar tergopoh gopoh dari dalam rumah sambil bertepuk tangan memanggil sang penjual dipan. Bapak penjual dipan pun putar haluan kembali ke depan rumah kos kami dengan wajahnya yang sekarang menjadi sumringah, “Ah akhirnya dapat pembeli juga, bisa pulang tanpa harus menarik beban berat lagi plus bawa duit nih”, mungkin kalimat itu yang ada di benaknya kala itu.
Terjadi tawar menawar yang cukup sengit, lumayan alot, lumayan lama. Bapak kos bersikukuh tak mau menaikkan penawaran, sebaliknya penjual dipan juga sangat berhati hati menurunkan harga sedikit demi sedikit, meski tetap masih jauh dari limit pengajuan tawaran bapak kos. Akhirnya, tak ada yang mau mengalah, interaksi “perniagaan dipan” itu pun ditutup tanpa sebuah deal. Transaksi gagal. Sang bapak penjual dipan kembali melanjutkan langkahnya dengan kekecewaan yang sangat jelas terlihat dari raut muka dan bahasa tubuhnya ketika membalik gerobaknya dengan susah payah, dan melangkah beranjak meninggalkan rumah kos kami, mungkin kala itu langsung buyar angannya untuk pulang cepat sambil membawa uang.
Ada ketimpangan yang sangat mencolok di sini. Bapak kos, si calon pembeli itu, tanpa beban, santai saja kembali masuk rumah seperti tak terjadi apa-apa. Sementara bapak penjual dipan sangat kecewa, sebuah bagian dari kegagalan. Yah…, terang saja bagi bapak kos kejadian tadi cuma secuil kecil saja dari momen yang terjadi dalam hidupnya hari ini, suatu peristiwa yang mungkin tak terlalu berarti. Sebaliknya bagi Bapak tua penjual dipan, momen tadi bisa dipastikan adalah momen utama yang paling penting dan paling ditunggu dalam perjalanan hidupnya hari ini, momen yang seharusnya sangat menentukan. Anyway, the life must goes on.
Lalu power apa yang menyokong motivasi mereka selain rengekan anaknya yang menunggu di rumah? Mungkin saja diantara mereka memiliki power untuk selalu bergerak tak kenal ampun pada diri sendiri menjadi kekuatan tersendiri yang ampuh menerjang tuntutan hidupnya yang tanpa pilihan itu. Atau seperti sales kaus kaki tadi yang memiliki prinsip “Allah tahu apa yang kita kerjakan”. Bukankah kita memang mencari Ridho-Nya? Selalu melakukan sesuatu dengan kalimat sakral tersebut tetap lekat tertempel di jidat mungkin sama sekali nggak akan ada koruptor dan suap-suapan kali ya……
Terdapat 100 ayat dalam Al Qur’an (mohon dikoreksi jika kurang tepat) yang inti maknanya adalah memastikan bahwa “Allah maha mengetahui/melihat apa yang kita kerjakan/perbuat”. Dan kalimat itulah yang ternyata menjadi air lemon ice segar yang selalu dibawa-bawa para hard worker jalanan untuk mendinginkan kepala dan menyegarkan hati di bawah tusukan duri panas matahari dan guyuran pekat debu aspal kota. Good luck, God blesses.
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Menurut ceritanya, dia baru saja berkeliling berjalan kaki keluar masuk kantor dan sekolahan, menghampiri penunggu bus di halte bis trans Jogja, melangkah masuk ke perumahan dan perkampungan, lalu berbelok mencari peruntungan di seputaran alun alun utara, hingga tepat tengah hari ini melepas lelah di Masjid Gede Kauman di sebelah barat alun alun utara. “Walah dikit mas, belum nutup”, jawabnya ketika saya tanya, dia enggan menyebutkan hasil jualannya hari ini. “Apalagi sekarang ini sudah banyak kantor yang melarang para sales masuk, nggak tahu lah pokoknya asal jalan, kalau rejekinya lagi ada juga nggak bakalan kemana”, lanjutnya. Masih mengutip kalimatnya saat itu; “Pekerjaan yang benar-benar halal itu zaman sekarang ini makin berkurang, sangat sulit ditemui”, katanya, tetapi, tambahnya lagi; “Yang sulit ditemui itu bukan berarti tidak ada kan…”. Wallahu’alam.
Terlepas dari definisi “dikit” menurut dia itu dikit yang bagaimana, tapi setahu saya bagi para penjual keliling yang berjalan kaki bermil-mil, mandi keringat, ditolak dan diusir itu penghasilan dari jualan dengn model seperti ini belum bisa dibanggakan, belum lagi penjual es dengan bergerobak dorong yang makin kalah dengan es cream keliling ala barat, atau fragmen seorang pedagang cermin keliling dalam film Kun-Fayakun yang rasio antara usaha keras dan hasil yang didapat sangat tidak layak. Karena banyak orang yang tinggal duduk duduk ditempat teduh saja dengan santainya bisa mendapatkan penghasilan yang lumayan banyak, lebih dari para worker jalanan tadi. Setidaknya orang-orang seperti itu ada tidak lebih dari 10 meter didepan tempat kami duduk, tepatnya di depan pintu masuk masjid, duduk beralaskan koran dan kain dengan properti utama sebuah kaleng ataupun mangkuk kecil dari plastik, ya, para pengemis. Mereka sehat-segar bugar, dan beberapa dari mereka sebenarnya tidaklah miskin-miskin amat. Pendapatan mereka bisa mencapai Rp.30.000-Rp.50.000 sehari, bahkan lebih, terutama ketika hari jumat dan hari-hari libur dimana para wisatawan sedang booming. Yah..,setidaknya begitulah yang pernah saya dengar dari cerita mas-mas petugas parkir masjid ini. Ada sebuah segitiga unik saat itu, yang membuat saya tersenyum kecil sendiri, segitiga unik tentang rahasia kehidupan yang berada dalam radius tak lebih dari 10 meter, antara saya, sales kaus kaki itu dan para pengemis yang ada di depan kami.
Jadi teringat kejadian tahun lalu saat masih tinggal di Solo. Suatu hari minggu siang menjelang Ashar saya bersama dua orang teman duduk di teras depan rumah kos, lewatlah seorang bapak yang sudah cukup tua, penjual dipan kayu dengan teriakan khasnya yang melolong tiada gentar itu. Dua buah dipan kayu ditumpuk, diikat sedemikian rupa dengan tali diatas gerobak dorong dengan bantuan sebuah balok kayu kecil, sebagai tonggak penambat, dan sang bapak menarik gerobak ber-dipan itu langkah demi langkah. Tak ada kejadian apa-apa, dia lewat begitu saja seperti biasa. Hingga setelah agak jauh ---meski teriakannya tetap terdengar--- tiba-tiba bapak kos keluar tergopoh gopoh dari dalam rumah sambil bertepuk tangan memanggil sang penjual dipan. Bapak penjual dipan pun putar haluan kembali ke depan rumah kos kami dengan wajahnya yang sekarang menjadi sumringah, “Ah akhirnya dapat pembeli juga, bisa pulang tanpa harus menarik beban berat lagi plus bawa duit nih”, mungkin kalimat itu yang ada di benaknya kala itu.
Terjadi tawar menawar yang cukup sengit, lumayan alot, lumayan lama. Bapak kos bersikukuh tak mau menaikkan penawaran, sebaliknya penjual dipan juga sangat berhati hati menurunkan harga sedikit demi sedikit, meski tetap masih jauh dari limit pengajuan tawaran bapak kos. Akhirnya, tak ada yang mau mengalah, interaksi “perniagaan dipan” itu pun ditutup tanpa sebuah deal. Transaksi gagal. Sang bapak penjual dipan kembali melanjutkan langkahnya dengan kekecewaan yang sangat jelas terlihat dari raut muka dan bahasa tubuhnya ketika membalik gerobaknya dengan susah payah, dan melangkah beranjak meninggalkan rumah kos kami, mungkin kala itu langsung buyar angannya untuk pulang cepat sambil membawa uang.
Ada ketimpangan yang sangat mencolok di sini. Bapak kos, si calon pembeli itu, tanpa beban, santai saja kembali masuk rumah seperti tak terjadi apa-apa. Sementara bapak penjual dipan sangat kecewa, sebuah bagian dari kegagalan. Yah…, terang saja bagi bapak kos kejadian tadi cuma secuil kecil saja dari momen yang terjadi dalam hidupnya hari ini, suatu peristiwa yang mungkin tak terlalu berarti. Sebaliknya bagi Bapak tua penjual dipan, momen tadi bisa dipastikan adalah momen utama yang paling penting dan paling ditunggu dalam perjalanan hidupnya hari ini, momen yang seharusnya sangat menentukan. Anyway, the life must goes on.
Lalu power apa yang menyokong motivasi mereka selain rengekan anaknya yang menunggu di rumah? Mungkin saja diantara mereka memiliki power untuk selalu bergerak tak kenal ampun pada diri sendiri menjadi kekuatan tersendiri yang ampuh menerjang tuntutan hidupnya yang tanpa pilihan itu. Atau seperti sales kaus kaki tadi yang memiliki prinsip “Allah tahu apa yang kita kerjakan”. Bukankah kita memang mencari Ridho-Nya? Selalu melakukan sesuatu dengan kalimat sakral tersebut tetap lekat tertempel di jidat mungkin sama sekali nggak akan ada koruptor dan suap-suapan kali ya……
Terdapat 100 ayat dalam Al Qur’an (mohon dikoreksi jika kurang tepat) yang inti maknanya adalah memastikan bahwa “Allah maha mengetahui/melihat apa yang kita kerjakan/perbuat”. Dan kalimat itulah yang ternyata menjadi air lemon ice segar yang selalu dibawa-bawa para hard worker jalanan untuk mendinginkan kepala dan menyegarkan hati di bawah tusukan duri panas matahari dan guyuran pekat debu aspal kota. Good luck, God blesses.
Saturday, November 22, 2008
Tiap-tiap Orang di Sekitar Kita Adalah Ujian Bagi Diri Kita
Dan sebaliknya kita ini adalah ujian bagi bagi tiap-tiap orang di sekitar kita. Setiap orang punya kepentingan, dan secara manusiawi ketika kepentingan-kepentingan ini berada dalam satu ruang dan waktu yang sama kita sering menganggap bahwa kepentingan orang lain tidaklah lebih penting daripada kepentingan kita.
Seorang sahabat bisa menjadi sangat mengecewakan, bahkan mungkin pula bagi kita untuk dengan mudahnya memutuskan tali silaturahim karena suatu sikap sahabat yang menurut penilaian kita sudah benar-benar keterlaluan, memang sesak rasanya dikecewakan.
Tapi sebaliknya seketika itu pula kita sebagai pribadi bisa pula tanpa disadari telah membuat sahabat atau mungkin saudara kita menjadi sedemikian marahnya. Mending kalau terungkapkan, lha kalau tidak dan dia hanya diam-diam begitu saja, itu malah berbahaya. Sudah kita tidak sadar, tidak tahu pula apa kesalahan kita.
Tiap-tiap orang di sekitar kita adalah ujian bagi diri kita.dan sebaliknya kita ini adalah ujian bagi tiap-tiap orang di sekitar kita. Nah kalau kita bisa memaknai dan memahami kalimat tersebut setidaknya bisa menjadi modal untuk mengendalikan diri, mengkoreksi diri dan bercermin dengan cermin yang jernih dan sebisa mungkin bukan cermin buatan sendiri.
Ujian dalam hidup ini yang paling dominan adalah ujian kesabaran, tes ujian kesabaran ini soal-soalnya amat sangat banyak, baru akan selesei ketika paruparu kita ini tidak bisa lagi menggembung dan mengkonversi oksigen menjadi energi sedang jantung kita tidak sanggup lagi memfasilitasi travelling darah untuk mengembara kesudut sudut arteri.
Oleh karena kita itu adalah ujian kesabaran bagi orang di sekitar kita maka kalau kita ingin membantu mereka agar bisa lulus ujian kesabaran berarti kita harus bisa menjaga diri, misalnya; kalau seorang wanita ya harus benar benar memahami yang mana yang namanya aurat, yang mana yang harus disembunyikan, yang mana yang boleh diperindah. Atau bagi seorang anak dalam membantu ujian kesabaran orang tuanya harus bisa memahami karakteristik khas orang tua yang sangat menjunjung tinggi rasa hormat serta tata karma itu, dan bagaimana bersikap atau bertutur kata. Termasuk dalam hubungan pertemanan kita harus mau mengerti dan memahami apa yang bisa membuat seorang teman menjadi sensitif, tersinggung, dan dengan begitu kita bisa ikut membantu dia agar tetap bisa menjaga amarah. Dan yang paling agak susah karena kadang kita tidak sadar kita sering tidak menghargai eksistensi orang yang sedang berbicara dengan kita dan membuat dia sedikit marah dalam hati karena merasa tidak dihargai, karena pas sedang bicara panjang lebar tiba tiba dia sadar,meskipun dari tadi diam tapi ternyata tidak sedang memperhatikannya karena dari tadi sibuk ber sms-an ria, yang membuat dia seperti radio yang ngoceh sendiri, apalagi orang tersebut adalah orang tua, tidakkah kita juga merasa tidak dihargai ketika kejadian itu dibalik ? So mari kita bantu orang di sekitar kita agar mereka bisa lulus melewati ujian itu, ujian dimana bahan tes-nya tidak lain ya diri kita ini.
Orang-orang di sekitar kita adalah ujian bagi kita, maka kalau kita mau menyadari hal itu Insya Allah kita bisa menjaga diri agar tidak selalu serta merta selalu menyalahkan orang lain ketika sesuatu yang mengecewakan diri kita tiba tiba menimpa kita, sering kita lepas kendali apalagi ketika dalam kondisi psikologis yang sedang drop karena banyak pikiran ditambah masalah pekerjaan belum lagi masalah keluarga dan lain-lain pada suatu siang yang teramat terik, di sebuah warung tenda kecil yang cukup ramai dan lumayan antri, tenggorokan kering, haus tiada tara, keringat membasahi kerah baju dan membuat lumayan gatal, tiba tiba tanpa ba-bi-bu ada seseorang dengan pede nya menyerobot antrian pesanan es kelapa muda yang kita nanti-nantikan sejak lima menit yang lalu.
Atau kejadian seperti dalam salah satu iklan rokok di televisi dimana dalam adegan makan bakso yang baksonya selalu gagal masuk mulut itu, karena selalu terganggu oleh seseorang yang tidak mau memperhatikan orang lain, dengan seenaknya mendorong kursi tanpa tengok kanan kiri. Adegan tersebut menggambarkan bahwa kesabaran ada batasnya. Memang kesabaran ada batasnya, tapi Allah juga telah mengarsiteki sedemikian sempurna otak kita agar bisa berpikir dan kemudian menjadi mampu menemukan cara untuk terus memperluas dan semakin memperluas lagi batas batas kesabaran tersebut.
Labels:
catatan perjalanan,
manual kehidupan
Monday, October 27, 2008
TERAPI ISTIGHFAR
Malam itu, kuliah rasanya akan sangat membosankan. Bukan karena dosen bukan pula karena mata kuliah. Tapi virus di mata ini, virus yang selalu menyerang orang kelelahan, ngantuk. Kelopak mata ini rasanya seperti pintu kios kecil yang didepan jalannya sedang dilewati serombongan bonek (pendukung Persebaya Surabaya) yang tim kesayangannya itu baru saja kalah 7-0 akibat keputusan wasit yang kontoversial, maunya pingin cepet cepet tutup rapat-rapat. Ngantuk sekali, padahal jarum jam baru saja melewati angka 8 malam. Maklum seharian tadi sudah bergelut dengan setumpuk file yang musti dire-cek sedetail mungkin dengan mata terbelalak.
Benar saja, sepersekian menit kemudian aku sudah masuk ke surga tidur. Tapi tidak lama karena kemudian getar handphone di saku tiba-tiba membangunkan aku, hanya sebuah sms iseng yang tidak terlalu penting dari seorang teman, sangat kebetulan sekali tapi efeknya lumayan ampuh karena aku kemudian bangun, mencoba bertahan sekuat tenaga, apalagi tepat pada saat itu dosen memasuki pembicaraan yang cukup menarik mengenai teacher as a therapist yang sebenarnya bukan hanya cocok diterapkan oleh guru, tapi sangat berguna diterapkan para orang tua dalam berhubungan dengan anak-anaknya.
Andai saja semua anak yang bersekolah itu seperti para anggota lascar pelangi, terlebih seorang Lintang yang dengan keadaan sekolah serba memprihatinkan dan dilatar belakangi kehidupan ekonomi yang carut marut hingga memaksanya harus kembali berkeringat membantu orang tuanya bekerja.pada sore hari. Setiap hari menempuh jarak puluhan kilometer untuk pergi ke sekolah yang sebenarnya tidak terlalu menjanjikan itu, namun dengan semangat bak cheetah kelaparan yang menguber-uber seekor antilop dia dengan sepeda bututnya berusaha tidak tertinggal secuil pun pelajaran sekolah.
Kenyataan yang terjadi adalah bukan rahasia lagi bahwa banyak sekolah yang muridnya terlambat masuk kelas dengan sengaja, meskipun sebenarnya telah datang ke sekolah sebelum jam 7 pagi tapi seperti biasa nongkrong-nongkrong dulu sampai jam 8, biasanya dilakukan anak-anak kelas 2, belum cukup sampai di situ, banyak pula sekolah yang murid dalam kelasnya tinggal dua atau tiga orang saja, itu masih mending, karena tidak jarang pula kelas telah kosong, padahal jam baru menunjukkan pukul 11 menjelang siang, dan hari itu pun bukan hari Jum’at. Sialnya lagi keadaan ini berlangsung terus menerus, membudaya dan terwariskan dengan rapi, yang salah satu sebabnya sayangnya adalah karena tidak adanya ketegasan dari pihak sekolah, karena berbagai alasan masing-masing. Salah satu alasan yang ironis adalah karena sekolah memang membutuhkan siswa, biasanya itu adalah sekolah SMP, SMA, SMEA, maupun SMK swasta kelas menengah ke bawah. Logikanya, jika sekolah terlalu membebani murid, takutnya jumlah murid tiap tahun bisa makin berkurang.
Untuk sekolah yang seperti ini peran guru BK sebenarnya amat sangat vital sehingga seharusnya guru BK di sekolah tersebut adalah seorang yang berlatar belakang psikologi atau setidaknya seorang yang benar benar terlatih secara profesiaonal dan berkualitas dalam bidang itu sehingga dia benar-benar bisa menciptakan budaya sekolah yang terkontrol, termasuk selalu menganalisis sekaligus meng-inovasi metode treatment yang paling tepat di dalam kondisi yang terjadi di sekolahnya dan rajin membangun relationship dan komunikasi dengan orang tua murid bagaimanapun keadaan dan tanggapan keluarganya, setidaknya begitulah idealnya.
Sayangnya orang-orang dengan kualifikasi seperti itu malah banyak berada di dalam sekolah elit, sekolah teladan dan sekolah unggulan, yang kalau boleh jujur sebenarnya level kenakalan murid dan perilaku menyimpang para siswanya tidaklah parah-parah amat. Ya wajar lah bukankah kualitas memang harus dihargai mahal, dan sekolah kelas menengah ke bawah yang penuh dengan masalah siswa mungkin tidak mampu membayar para professional itu. Akibatnya peran guru BK dipegang sambil lalu oleh guru yang mau atau guru yang jadwalnya tak terlalu padat.
Kalau sudah begitu tanggung jawab ada pada semua guru bidang apapun, tidak mungkin keadaan seperti itu berjalan dibiarkan terus menerus tanpa ada perubahan, dan bukankah kondisi tersebut tidak boleh hanya dilalui begitu saja hari demi hari ?
Kembali ke teacher as a therapist. Seorang pendidik dan orang tua tidak hanya membawa ilmu pengetahuan atau nilai-nilai moral dan agama, mentransfer ke siswa atau ke anaknya dan kalau sudah muncul pesan “transfer accepted” dia kemudian pergi berlalu begitu saja. Tidak, guru dan orang tua adalah pen-terapi anak atau siswa terlebih ketika kondisi siswa tidak siap untuk menerima materi ilmu pengetahuan. Terapi psikologis bisa dipahami salah satunya adalah sebagai bagaimana mengubah jiwa seseorang dengan jiwa kita, yang tentunya disesuaikan dengan diri kepribadian orang tersebut. Salah satu indikasi keberhasilannya adalah ketika guru masuk ke kelas maka yang ada dalam pikiran dan perasaan siswa bukan rasa takut dan rasa was-was atau bahkan gambaran dan bayangan perasaan bosan dan memuakkan selama jam pelajaran berlangsung. Siswa harus belajar karena senang, nyaman, karena merasa butuh dan karena gurunya itu, bukan mau belajar karena takut. Demikian pula bagi orang tua dalam membangun sebuah budaya, aturan atau kedisiplinan bagi anaknya, Insya Allah mereka tidak akan merasa terpaksa.
Mengubah jiwa seseorang dengan jiwa kita Itu artinya untuk mendapatkan kemampuan sebagai terapist harus dimulai dari dalam diri kita yang kemudian kita pancarkan keluar. Caranya sangat sederhana, dimulai dengan terapi diri sebelum menterapi orang lain yaitu melalui introspeksi diri, mengakui kesalahan dan dengan ikhlas memohon ampun kepada Allah, istighfar dengan ikhlas segenap jiwa, setiap saat setiap waktu dimana pun kita berada dalam suasana hati bagaimanapun dan dalam kondisi apapun aktifitas kita. Sangat sederhana tetapi ternyata efeknya sungguh ajaib, karena secara psikologis jika jiwa kita bersih maka pengaruh yang muncul keluar pun akan menjadi luar biasa, setidaknya demikian yang saya tangkap dari penjelasan dosen malam itu.
Terapi diri melalui terapi istighfar ini sangat tepat diterapkan ketika menghadapi anak-anak masa sekarang sebagai perlidungan terhadap jutaan pengaruh buruk yang bisa mencederai hati dan pikiran mereka. Setiap hari 100 atau 200 kali sehabis sholat tidaklah terlalu berat, malahan hati menjadi nyaman. Jika kita sudah melakukan itu, maka tanggung jawab kita kemudian adalah memberi contoh dan mengajak anak kita, murid kita dan orang-orang di sekitar kita untuk melakukan hal serupa. Bukankah anak adalah produk dari lingkungan, dan mereka selalu belajar dari lingkungannya itu ?.
Jika terapi ini berhasil maka ketika kita berada jauh dari anak didik kita-pun pengaruh jiwa yang bersih ini akan tetap terasa. Sebagaimana matahari yang sekalipun pada malam hari sama sekali tidak tampak dari bumi tetapi sinarnya masih tetap terpancar dan selalu bisa kita nikmati melalui bulan.
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Benar saja, sepersekian menit kemudian aku sudah masuk ke surga tidur. Tapi tidak lama karena kemudian getar handphone di saku tiba-tiba membangunkan aku, hanya sebuah sms iseng yang tidak terlalu penting dari seorang teman, sangat kebetulan sekali tapi efeknya lumayan ampuh karena aku kemudian bangun, mencoba bertahan sekuat tenaga, apalagi tepat pada saat itu dosen memasuki pembicaraan yang cukup menarik mengenai teacher as a therapist yang sebenarnya bukan hanya cocok diterapkan oleh guru, tapi sangat berguna diterapkan para orang tua dalam berhubungan dengan anak-anaknya.
Andai saja semua anak yang bersekolah itu seperti para anggota lascar pelangi, terlebih seorang Lintang yang dengan keadaan sekolah serba memprihatinkan dan dilatar belakangi kehidupan ekonomi yang carut marut hingga memaksanya harus kembali berkeringat membantu orang tuanya bekerja.pada sore hari. Setiap hari menempuh jarak puluhan kilometer untuk pergi ke sekolah yang sebenarnya tidak terlalu menjanjikan itu, namun dengan semangat bak cheetah kelaparan yang menguber-uber seekor antilop dia dengan sepeda bututnya berusaha tidak tertinggal secuil pun pelajaran sekolah.
Kenyataan yang terjadi adalah bukan rahasia lagi bahwa banyak sekolah yang muridnya terlambat masuk kelas dengan sengaja, meskipun sebenarnya telah datang ke sekolah sebelum jam 7 pagi tapi seperti biasa nongkrong-nongkrong dulu sampai jam 8, biasanya dilakukan anak-anak kelas 2, belum cukup sampai di situ, banyak pula sekolah yang murid dalam kelasnya tinggal dua atau tiga orang saja, itu masih mending, karena tidak jarang pula kelas telah kosong, padahal jam baru menunjukkan pukul 11 menjelang siang, dan hari itu pun bukan hari Jum’at. Sialnya lagi keadaan ini berlangsung terus menerus, membudaya dan terwariskan dengan rapi, yang salah satu sebabnya sayangnya adalah karena tidak adanya ketegasan dari pihak sekolah, karena berbagai alasan masing-masing. Salah satu alasan yang ironis adalah karena sekolah memang membutuhkan siswa, biasanya itu adalah sekolah SMP, SMA, SMEA, maupun SMK swasta kelas menengah ke bawah. Logikanya, jika sekolah terlalu membebani murid, takutnya jumlah murid tiap tahun bisa makin berkurang.
Untuk sekolah yang seperti ini peran guru BK sebenarnya amat sangat vital sehingga seharusnya guru BK di sekolah tersebut adalah seorang yang berlatar belakang psikologi atau setidaknya seorang yang benar benar terlatih secara profesiaonal dan berkualitas dalam bidang itu sehingga dia benar-benar bisa menciptakan budaya sekolah yang terkontrol, termasuk selalu menganalisis sekaligus meng-inovasi metode treatment yang paling tepat di dalam kondisi yang terjadi di sekolahnya dan rajin membangun relationship dan komunikasi dengan orang tua murid bagaimanapun keadaan dan tanggapan keluarganya, setidaknya begitulah idealnya.
Sayangnya orang-orang dengan kualifikasi seperti itu malah banyak berada di dalam sekolah elit, sekolah teladan dan sekolah unggulan, yang kalau boleh jujur sebenarnya level kenakalan murid dan perilaku menyimpang para siswanya tidaklah parah-parah amat. Ya wajar lah bukankah kualitas memang harus dihargai mahal, dan sekolah kelas menengah ke bawah yang penuh dengan masalah siswa mungkin tidak mampu membayar para professional itu. Akibatnya peran guru BK dipegang sambil lalu oleh guru yang mau atau guru yang jadwalnya tak terlalu padat.
Kalau sudah begitu tanggung jawab ada pada semua guru bidang apapun, tidak mungkin keadaan seperti itu berjalan dibiarkan terus menerus tanpa ada perubahan, dan bukankah kondisi tersebut tidak boleh hanya dilalui begitu saja hari demi hari ?
Kembali ke teacher as a therapist. Seorang pendidik dan orang tua tidak hanya membawa ilmu pengetahuan atau nilai-nilai moral dan agama, mentransfer ke siswa atau ke anaknya dan kalau sudah muncul pesan “transfer accepted” dia kemudian pergi berlalu begitu saja. Tidak, guru dan orang tua adalah pen-terapi anak atau siswa terlebih ketika kondisi siswa tidak siap untuk menerima materi ilmu pengetahuan. Terapi psikologis bisa dipahami salah satunya adalah sebagai bagaimana mengubah jiwa seseorang dengan jiwa kita, yang tentunya disesuaikan dengan diri kepribadian orang tersebut. Salah satu indikasi keberhasilannya adalah ketika guru masuk ke kelas maka yang ada dalam pikiran dan perasaan siswa bukan rasa takut dan rasa was-was atau bahkan gambaran dan bayangan perasaan bosan dan memuakkan selama jam pelajaran berlangsung. Siswa harus belajar karena senang, nyaman, karena merasa butuh dan karena gurunya itu, bukan mau belajar karena takut. Demikian pula bagi orang tua dalam membangun sebuah budaya, aturan atau kedisiplinan bagi anaknya, Insya Allah mereka tidak akan merasa terpaksa.
Mengubah jiwa seseorang dengan jiwa kita Itu artinya untuk mendapatkan kemampuan sebagai terapist harus dimulai dari dalam diri kita yang kemudian kita pancarkan keluar. Caranya sangat sederhana, dimulai dengan terapi diri sebelum menterapi orang lain yaitu melalui introspeksi diri, mengakui kesalahan dan dengan ikhlas memohon ampun kepada Allah, istighfar dengan ikhlas segenap jiwa, setiap saat setiap waktu dimana pun kita berada dalam suasana hati bagaimanapun dan dalam kondisi apapun aktifitas kita. Sangat sederhana tetapi ternyata efeknya sungguh ajaib, karena secara psikologis jika jiwa kita bersih maka pengaruh yang muncul keluar pun akan menjadi luar biasa, setidaknya demikian yang saya tangkap dari penjelasan dosen malam itu.
Terapi diri melalui terapi istighfar ini sangat tepat diterapkan ketika menghadapi anak-anak masa sekarang sebagai perlidungan terhadap jutaan pengaruh buruk yang bisa mencederai hati dan pikiran mereka. Setiap hari 100 atau 200 kali sehabis sholat tidaklah terlalu berat, malahan hati menjadi nyaman. Jika kita sudah melakukan itu, maka tanggung jawab kita kemudian adalah memberi contoh dan mengajak anak kita, murid kita dan orang-orang di sekitar kita untuk melakukan hal serupa. Bukankah anak adalah produk dari lingkungan, dan mereka selalu belajar dari lingkungannya itu ?.
Jika terapi ini berhasil maka ketika kita berada jauh dari anak didik kita-pun pengaruh jiwa yang bersih ini akan tetap terasa. Sebagaimana matahari yang sekalipun pada malam hari sama sekali tidak tampak dari bumi tetapi sinarnya masih tetap terpancar dan selalu bisa kita nikmati melalui bulan.
Labels:
catatan perjalanan,
nyata-nyata ada
Saturday, September 13, 2008
APAKAH KALAU KITA SEDANG DALAM UNDER PRESSURE ITU ARTINYA KITA BOLEH MENJADI RAJA SEHARI ?

Minggu lalu seorang sahabat saya istrinya mau melahirkan, dia butuh darah AB cukup banyak karena terjadi pendarahan, selama proses operasi sesar, saat itu juga dalam waktu mepet, yang mungkin untuk sekedar menarik napas saja terasa membuang waktu, sementara rumah sakit kehabisan darah, di rumah sakit lain bahkan di PMI setempat stoknya kebetulan sedang kosong, Bertanya ke semua kenalannya tidak ada yang punya darah AB, padahal waktu terus berputar dan darah istrinya terus mengalir keluar. Akhirnya dia mendapat informasi bahwa masih ada darah AB di PMI wilayah lain yang berjarak lebih dari 15 Km dari rumah sakit tempat istrinya berada. Tanpa pikir dua kali langsung dia meluncur dengan sepeda motor, bersama saya yang membonceng dibelakang, sore hari menjelang buka puasa pukul 17.20. Apa yang terjadi selama perjalanan ?
Selama perjalanan, kami sama sekali tidak saling bicara, sahabat saya tampak tegang dan kaku, bahkan ketika saya meminta agar dia membonceng saja, dia tetap tak menyahut. Jarum spidometer sangat jarang menunjukkan angka kurang dari 80 Km/jam, kami 3 kali menerabas lampu merah, beberapa kali hampir terserempet mobil, 2 kali nyaris saja menabrak pejalan kaki dan sekali motor kami menyerempet seorang bapak bersepeda yang membawa sekarung rumput. Saya menengok ke belakang, bapak itu jatuh bersama sepedanya, “ Wan, Wan, wonge tibo wan, piye iki, mosok awake dewe bablas wae iki...( Wan, Wan, orangnya jatuh wan, masak kita tetap jalan terus ....)” ,kataku gugup, sambil terus menepuk-nepuk pundaknya. Sama sekali dia tak mempedulikan ketakutanku, kami tetap melaju.
Kantong darah berhasil didapat. Untungnya, saat kembali, ada mobil ambulance yang mengantar, sahabat saya ikut ambulance, dan saya membawa motor, tapi lewat jalan yang lain, meski lebih jauh tapi setidaknya antisipasi siapa tahu ada yang masih mengenali, bisa-bisa sendirian digebukin orang nanti.
Tapi ternyata bukan cuma orang lain yang tidak di kenal bisa menjadi korban kita, orang–orang yang mungkin kita kenal baik-baik pun bisa sadar atau tidak menjadi makanan kita. Pasti sering kita menyaksikan baik di televisi atau bahkan secara langsung ketika ada cara bagi-bagi sembako, atau pada saat Hari Raya Kurban di masjid masjid besar, Istiqlal misalnya, bisa dipastikan di sana selalu banyak masa yang mengantri tertib hanya dalam sekian menit saja, selanjutnya bisa ditebak, terjadilah kekacauan, berebut kalang kabut, dorong sana dorong sini, gencet sana gencet sini, sikut atas sikut bawah, tak peduli wanita, anak-anak, bahkan nenek-nenek renta yang untuk sekedar berdiri saja harus berjuang keras kini mereka lihat sebagai ancaman besar, menjadi seperti “saingan berat” yang bisa menggagalkan tujuan untuk mendapat se-onggok daging.
Daging berhasil di dapat dan dengan senyum kemenangan meninggalkan “medan laga”, belum cukup sampai di situ, bahkan untuk sekedar ingat kepada para pengantri lain yang sama-sama butuh makan pun tidak. Lihat saja, tidak sedikit yang membawa pulang lebih dari jatah yang seharusnya diterima. Perut memang tak bisa diajak bicara baik-baik ya ?
Nah itulah yang saya maksud dengan raja sehari, dalam keadaan seperti itu kita sepertinya langsung punya label halal dan sah sah saja melakukan apapun, melanggar aturan, membahayakan diri bahkan orang lain, hingga mencelakai dan merugikan orang lain pun sepertinya bisa dimaklumi dan dimaafkan. Dimaklumi? Dimaafkan ? Emang bener gitu ya?
Memang dalam hal ini, terlebih ketika nyawa orang tercinta menjadi taruhan dan kemudian kita seperti sudah kehilangan akal logis dan pikiran dewasa, tapi apakah dengan demikian kita juga boleh mempertaruhkan kepentingan orang lain, mempertaruhkan nyawa orang lain ? hmm....
Oke, suatu saat ketika kita dalam kondisi genting seperti itu dan lalu kita berhasil melewatinya, semoga saja tidak terjadi pada saat yang bersamaan tiba-tiba di kepala kita keluar dua tanduk kecil, wajah memerah dan alis meruncing sambil tersenyum terkekeh-kekeh dalam hati, merayakan kemenangan.
Labels:
catatan perjalanan,
nyata-nyata ada
Saturday, August 23, 2008
Suatu Siang di Suatu Bukit Tanpa Suatu Rencana
Daun kering itu...Jatuh tepat diatas kepalaku.
Begitu ringan,
Begitu lemah,
Daun kering itu jatuh tepat diatas kepalaku, tanpa suara…
Tak lama, karena dia lalu jatuh diatas rumput kaku, setengah depa di depanku...
Begitu lemah,
Daun kering itu jatuh tepat diatas kepalaku, tanpa suara…
Tak lama, karena dia lalu jatuh diatas rumput kaku, setengah depa di depanku...
Dia diam, diam sejenak,
Tiga detik , lalu
Dia mulai bergerak...
Pelan....
Merangkak
Pelan....
Tiga detik , lalu
Dia mulai bergerak...
Pelan....
Merangkak
Pelan....
Angin, dingin, menyentuh tubuhnya yang kering,
Mengajak daun itu, dia tak menolak.
Menuntun pergi,
Terus merangkak,
semakin jauh....
Angin menyapu dengan nafasnya yang tak pernah lelah, tak pernah berhenti dan tak pernah berhenti.
Angin...dia tak pernah ragu berjalan, tak pernah bosan bernafas, tak pernah.
Atau karena tak pernah tahu, apakah dia diterbangkan oleh sesuatu? Ataukah dia sendiri yang menerbangkan dirinya sendiri ?
“Aku tak pernah tahu, aku tak pernah memikirkan itu”, katanya pelan.
Hingga hanya satu yang bisa dia jawab “tapi aku akan menerbangkan sesuatu nanti, pasti....”
“Kenapa kamu begitu yakin ?”
“Ya, karena aku adalah angin, dan hanya akulah yang mereka sebut angin....”
Sempat terlintas di kepalaku, sesaat tadi setelah daun kering itu mengenaiku.
Akankah daun kering itu tetap bergerak ketika angin tak pernah tiba menghampirinya ?
Ataukah angin, mau tak mau memang harus mendekatinya ?
Tak sempatkah sesuatu yang lain mencoba menggantikan dua makhluk diam itu ?
Lalu hening, meski angin kemudian membelaiku....
Masih hening, ketika semakin lama, tiga, lima, tujuh belas hingga sembilan puluh sembilan daun kering berjatuhan, tak bersuara.
Tetap hening....
Ya... karena hanya Allah yang sepenuhnya menguasai keheningan itu.
Dan satu pertanyaan telah terjawab.
Meski lagi, lagi dan lagi, selalu itu adalah satu jawaban yang membuatku ingin bertanya....
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Meski lagi, lagi dan lagi, selalu itu adalah satu jawaban yang membuatku ingin bertanya....
Wednesday, August 20, 2008
ANTARA MEMBERI DAN MENERIMA
Sering kita mendapatkan sesuatu atau berada di suatu keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan kita, maka banyak dari kita yang kemudian tawaqal dan yakin bahwa apa yang kita peroleh adalah pemberian Tuhan yang terbaik buat kita dan nanti kita akan memperoleh kebaikan dari situ, ah tapi masa sih begitu ?
Kita akan mendapatkan yang terbaik ? masa sih ? Enak amat hidup ini kalau cuma begitu saja. Cukupkah sampai disitu ? ternyata tidak. Tuhan tidak hanya akan memberikan yang terbaik buat kita tapi lebih dari itu karena disanalah ada harapan yang dibebankan pada kita, kita diharapkan untuk bisa memberikan yang terbaik, untuk bisa memperbaiki keadaan buruk dimana kita berada itu. Kenapa? Yakinlah karena menurut-Nya hanya kita-lah yang bisa memperbaiki no body else, itulah kenapa kita dikirim kesana kedalam situasi yang buruk ini. Maka lakukan sesuatu, berikan yang terbaik di sana.
Apakah nanti kita akan mendapatkan yang terbaik setelah kita memberikan yang terbaik ?
“Barang siapa berbuat kebaikan seberat dzarrah (benda yangterkecil)sekalipun, maka ia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang berbuat kejahatan seberat dzarrah (benda yangterkecil) sekalipun, maka ia akan melihat (balasan)nya”. (Al Qur’an, Surat Al Zalzalah, ayat 7-8).
Jadi jangan hanya diam menunggu datangnya kebaikan yang hanya untuk diri kita sendiri, karena ternyata kita-lah yang harus menciptakan dan memberikan kebaikan itu bagi orang lain. Mari berbuat, mari kita memberikan sesuatu, perbaiki dan ciptakan kebaikan, lalu bagikan kepada orang-orang dan untuk segala sesuatu di sekitar kita.
Jangan klik di sini ya kalau nggak ingin baca kelanjutannya....
Kita akan mendapatkan yang terbaik ? masa sih ? Enak amat hidup ini kalau cuma begitu saja. Cukupkah sampai disitu ? ternyata tidak. Tuhan tidak hanya akan memberikan yang terbaik buat kita tapi lebih dari itu karena disanalah ada harapan yang dibebankan pada kita, kita diharapkan untuk bisa memberikan yang terbaik, untuk bisa memperbaiki keadaan buruk dimana kita berada itu. Kenapa? Yakinlah karena menurut-Nya hanya kita-lah yang bisa memperbaiki no body else, itulah kenapa kita dikirim kesana kedalam situasi yang buruk ini. Maka lakukan sesuatu, berikan yang terbaik di sana.
Apakah nanti kita akan mendapatkan yang terbaik setelah kita memberikan yang terbaik ?
“Barang siapa berbuat kebaikan seberat dzarrah (benda yangterkecil)sekalipun, maka ia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang berbuat kejahatan seberat dzarrah (benda yangterkecil) sekalipun, maka ia akan melihat (balasan)nya”. (Al Qur’an, Surat Al Zalzalah, ayat 7-8).
Jadi jangan hanya diam menunggu datangnya kebaikan yang hanya untuk diri kita sendiri, karena ternyata kita-lah yang harus menciptakan dan memberikan kebaikan itu bagi orang lain. Mari berbuat, mari kita memberikan sesuatu, perbaiki dan ciptakan kebaikan, lalu bagikan kepada orang-orang dan untuk segala sesuatu di sekitar kita.
Subscribe to:
Posts (Atom)
" ...yang kemudian hadir dan terjadi bukanlah suatu kebetulan yang sia-sia,
pertemuan dan perpisahan, ada dan tiada, jatuh dan bangun, tawa dan tangis, tampak dan samar, benar dan salah adalah berbentuk pertanyaan dan jawaban yang terdesain sedemikian rupa menjadi sebuah kepastian dan sama sekali bukan ke-tidak-pasti-an,
karenanya, karena hidup ini bukanlah suatu kebetulan, maka tidak ada alasan untuk meredupkan keyakinan demi memulai sesuatu dan lalu menyempurnakannya."
pertemuan dan perpisahan, ada dan tiada, jatuh dan bangun, tawa dan tangis, tampak dan samar, benar dan salah adalah berbentuk pertanyaan dan jawaban yang terdesain sedemikian rupa menjadi sebuah kepastian dan sama sekali bukan ke-tidak-pasti-an,
karenanya, karena hidup ini bukanlah suatu kebetulan, maka tidak ada alasan untuk meredupkan keyakinan demi memulai sesuatu dan lalu menyempurnakannya."