" JANGAN PERNAH LUPA... GLOBAL WARMING TELAH SIAP MENGHANCURKAN BUMI INI !!!!
Have a nice day.....but don't ever forget to take a look around
.......there's must be somebody or something needs you.....

.......let's check it out.

Saturday, September 12, 2009

Thank You Malaysia....

LAGI rame nih ngomongin Malaysia, klaim sana klaim sini, caplok ini caplok itu. Saya tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran orang-orang Malaysia atau mungkin oknum Malaysia yang mau main-main dengan hak milik atau lebih tepatnya sesuatu yang sejak turun temurun berada di Indonesia, apa misinya, apa tujuan nya dan berbagai hal dibalik kembali cederanya hubungan Indonesia-Malaysia. Nah, karena ketidak mengertian saya itulah maka tidak sepantasnya saya berpikir negatif dulu terhadap Malaysia, sebuah negara yang tidak terlalu saya kenal. Yah setidaknya sampai saya bisa benar-benar menghilangkan pikiran negatif saya selama ini terhadap sebuah negara yang sudah hampir seperempat abad lebih saya kenal, Indonesia.

Tampak sekali nasionalisme bangsa Indonesia meletup-letup ketika sesuatu yang merasa miliknya disinggung, lewat dialog dan diskusi akademis, slogan, demonstrasi, protes jalanan, surat terbuka, diplomasi kenegaraan, pengumpulan dukungan melalui jejaring sosial, hingga siap sedia melancarkan perang. Nasionalisme? apa bukannya lebih tepat jika disebut fanatisme ya? bukankah bangsa kita ini memang memiliki budaya fanatik terhadap apa yang dia rasa sebagai miliknya. Lalu apa bedanya nasionalisme dengan fanatisme?

Menurut saya fanatisme bangsa indonesia memang bersumbu pendek-- lihat persepak bolaan kita, perang antar kampung, sekolah, atau lihat kejadian di solo, konflik ambon, kalimantan, sedikit saja dipancing maka tidak butuh waktu lama, emosi akan meledak, dan ledakan emosi ini adalah kumpulan amarah rasa frustasi dan lain lain yang telah tersimpan lama, karena kemiskinan, masalah keluarga, stress dan lain-lain yang mendapatkan pelampiasan langsung.

Salah satu media massa tertua di Indonesia memuat berita sebuah unjuk rasa berlabel Ganyang Malaysia, di sebuah kota di Jawa Tengah bubar, hanya karena hujan gerimis turun, beberapa aksi menarik yang telah diagendakan batal dan aksi yang sedianya berlangsung menggebu-gebu itu hanya tinggal menyisakan dua orang saja. Lalu yang namanya nasionalisme itu seperti apa? Terlepas dari apresiasi, kekaguman dan rasa hormat saya yang setinggi-tingginya terhadap para pahlawan pejuang kemerdekaan, tapi diluar itu saya sendiri pun masih sering bertanya dalam hati, apakah saya punya nasionalisme terhadap Indonesia?

Lalu jika terus menghujat Malaysia, dan ketika kemudian Malaysia meminta maaf, melakukan klarifikasi tingkat global, bahkan mungkin memberikan kompensasi kerugian, apakah lalu kita akan menyaksikan dengan bangga sajian Tari Pendet, melestarikan Reog, atau lebih dalam lagi seperti belajar membatik misalnya.

Apakah dulu sebelum ada klaim Malaysia kita membicarakan Reog dan Tari Pendet seheboh ini? Lebih dari itu sekarang pun kita sudah hampir melupakan perkembangan blok minyak ambalat, belum lagi kita benar-benar tidak pernah membicarakan keadaan saudara-saudara kita yang telah hidup turun temurun di wilayah-wilayah perbatasan, yaitu di pulau-pulau terluar Indonesia.

Perlukah membicarakan pulau Sebatik lagi? Mungkin itu adalah cerita lama, dimana rahasia umum bahwa warga negara Indonesia di Sebatik lebih merasa nyaman beraktifitas di Malaysia. Bahkan muncul pula sebutan ibu pertiwi dan bapak pertiwi di sana, mana yang ibu mana yang bapak, Indonesia atau Malaysia? Sepertinya tidak terlalu penting untuk dibahas disini sekarang.

Sedikit untuk penyegaran, beberapa kilometer ke timur kita akan menjumpai Pulau Mianggas yang masuk ke kabupaten Talaud, Sulawesi utara. Coba cek, ambil secara acak sepuluh orang saja warga Mianggas dan tengok isi dompetnya, hampir dipastikan ada mata uang Peso didalamnya, bahkan mungkin mereka sama sekali tidak membawa Rupiah. Sebenarnya wajar saja, karena jarak Mianggas dengan Filipina lebih dekat daripada dengan Pulau Sulawesi. Beberapa bendera Filipina pun dikabarkan bebas berkibar disana, uniknya salah satu alasan pengibaran bendera itu adalah sebagai upaya untuk memancing perhatian pemerintah Indonesia agar memperhatikan mereka, tapi ternyata upaya meraka itu mungkin belum cukup.

Kita melompat lagi ke terus ke timur, dan ada pulau Bepondi di sana, termasuk wilayah kabupaten Biak. Lebih kurang 530-an jiwa tinggal di pulau itu seluas 2,5 km2 itu. Kesejahteraan warganya? hmm.. jangan kan warga Pulau Bepondi, warga Papua yang pulaunya jelas-jelas selalu tercetak di peta dunia saja masih banyak yang tidak tersentuh pelayanan pendidikan dan kesehatan, apalagi warga pulau kecil Bepondi ini.

Belum lagi kalau kita membicarakan gugusan Pulau Mapia, wilayah Kabupaten Supiori, masih di Papua. Ini dia wilayah negara kita yang sangat berprospek untuk dicaplok negara lain, potensi Mapia sangat bagus untuk di bidang periakanan, pertanian dan perkebunan. Gugusan pulau yang unik menjadi daya tarik eksotis wisata petualangan dan wisata bawah laut karena keindahan biota laut yang masih belum banyak terjamah. Saya yakin beberapa negara asing yang berbatasan langsung dengan pulau ini, seperti Filipina, Papua Nugini bahkan negara kecil Republik Palau pun sepertinya telah meneteskan air liur ingin mengakui pulau ini, prospektif sekali. Saya yakin Indonesia juga sudah sejak lama menyadari prospek luar biasa wilayah ini, tapi apakah cukup hanya menyadari saja?

Lalu tanyakan kepada kesemua penduduk yang tinggal di pulau-pulau terluar itu, apakah mereka bangga menjadi warga negara Indonesia?

Atau, andai saja Pendet dan Reog bisa bicara, mungkin akan lebih jelas bagi kita semua untuk mengetahui apakah mereka berdua lebih merasa nyaman berstatus sebagai budaya Indonesia atau berstatus sebagai bagian pariwisata Malaysia.

Sekali lagi, thank you Malaysia, mungkin kalau kamu tidak berbuat curang dan berkelakuan tidak fair seperti sekarang ini, negaraku tercinta ini tidak akan serius menjaga diri, tidak akan sibuk mengamankan diri, dan akan terus meremehkan arti pentingnya kewaspadaan dan kepedulian.

0 comments:

Post a Comment

" ...yang kemudian hadir dan terjadi bukanlah suatu kebetulan yang sia-sia,

pertemuan dan perpisahan, ada dan tiada, jatuh dan bangun, tawa dan tangis, tampak dan samar, benar dan salah adalah berbentuk pertanyaan dan jawaban yang terdesain sedemikian rupa menjadi sebuah kepastian dan sama sekali bukan ke-tidak-pasti-an,


karenanya, karena hidup ini bukanlah suatu kebetulan, maka tidak ada alasan untuk meredupkan keyakinan demi memulai sesuatu dan lalu menyempurnakannya."


 
Template by: Abdul Munir