" JANGAN PERNAH LUPA... GLOBAL WARMING TELAH SIAP MENGHANCURKAN BUMI INI !!!!
Have a nice day.....but don't ever forget to take a look around
.......there's must be somebody or something needs you.....

.......let's check it out.

Thursday, January 1, 2009

"Dia" Tahu Apa Yang Kita Lakukan

Kalimat itu keluar dari mulut seorang laki laki berumur sekitar 30-an lebih yang sempat ngobrol dengan saya selepas dhuhur di serambi masjid Gede Kauman Jogja beberapa hari yg lalu. Laki-laki berkemeja putih rapi yang dimasukkan ke dalam celana hitamnya itu adalah seorang sales kaus kaki dan ikat pinggang.

Menurut ceritanya, dia baru saja berkeliling berjalan kaki keluar masuk kantor dan sekolahan, menghampiri penunggu bus di halte bis trans Jogja, melangkah masuk ke perumahan dan perkampungan, lalu berbelok mencari peruntungan di seputaran alun alun utara, hingga tepat tengah hari ini melepas lelah di Masjid Gede Kauman di sebelah barat alun alun utara. “Walah dikit mas, belum nutup”, jawabnya ketika saya tanya, dia enggan menyebutkan hasil jualannya hari ini. “Apalagi sekarang ini sudah banyak kantor yang melarang para sales masuk, nggak tahu lah pokoknya asal jalan, kalau rejekinya lagi ada juga nggak bakalan kemana”, lanjutnya. Masih mengutip kalimatnya saat itu; “Pekerjaan yang benar-benar halal itu zaman sekarang ini makin berkurang, sangat sulit ditemui”, katanya, tetapi, tambahnya lagi; “Yang sulit ditemui itu bukan berarti tidak ada kan…”. Wallahu’alam.

Terlepas dari definisi “dikit” menurut dia itu dikit yang bagaimana, tapi setahu saya bagi para penjual keliling yang berjalan kaki bermil-mil, mandi keringat, ditolak dan diusir itu penghasilan dari jualan dengn model seperti ini belum bisa dibanggakan, belum lagi penjual es dengan bergerobak dorong yang makin kalah dengan es cream keliling ala barat, atau fragmen seorang pedagang cermin keliling dalam film Kun-Fayakun yang rasio antara usaha keras dan hasil yang didapat sangat tidak layak. Karena banyak orang yang tinggal duduk duduk ditempat teduh saja dengan santainya bisa mendapatkan penghasilan yang lumayan banyak, lebih dari para worker jalanan tadi. Setidaknya orang-orang seperti itu ada tidak lebih dari 10 meter didepan tempat kami duduk, tepatnya di depan pintu masuk masjid, duduk beralaskan koran dan kain dengan properti utama sebuah kaleng ataupun mangkuk kecil dari plastik, ya, para pengemis. Mereka sehat-segar bugar, dan beberapa dari mereka sebenarnya tidaklah miskin-miskin amat. Pendapatan mereka bisa mencapai Rp.30.000-Rp.50.000 sehari, bahkan lebih, terutama ketika hari jumat dan hari-hari libur dimana para wisatawan sedang booming. Yah..,setidaknya begitulah yang pernah saya dengar dari cerita mas-mas petugas parkir masjid ini. Ada sebuah segitiga unik saat itu, yang membuat saya tersenyum kecil sendiri, segitiga unik tentang rahasia kehidupan yang berada dalam radius tak lebih dari 10 meter, antara saya, sales kaus kaki itu dan para pengemis yang ada di depan kami.

Jadi teringat kejadian tahun lalu saat masih tinggal di Solo. Suatu hari minggu siang menjelang Ashar saya bersama dua orang teman duduk di teras depan rumah kos, lewatlah seorang bapak yang sudah cukup tua, penjual dipan kayu dengan teriakan khasnya yang melolong tiada gentar itu. Dua buah dipan kayu ditumpuk, diikat sedemikian rupa dengan tali diatas gerobak dorong dengan bantuan sebuah balok kayu kecil, sebagai tonggak penambat, dan sang bapak menarik gerobak ber-dipan itu langkah demi langkah. Tak ada kejadian apa-apa, dia lewat begitu saja seperti biasa. Hingga setelah agak jauh ---meski teriakannya tetap terdengar--- tiba-tiba bapak kos keluar tergopoh gopoh dari dalam rumah sambil bertepuk tangan memanggil sang penjual dipan. Bapak penjual dipan pun putar haluan kembali ke depan rumah kos kami dengan wajahnya yang sekarang menjadi sumringah, “Ah akhirnya dapat pembeli juga, bisa pulang tanpa harus menarik beban berat lagi plus bawa duit nih”, mungkin kalimat itu yang ada di benaknya kala itu.

Terjadi tawar menawar yang cukup sengit, lumayan alot, lumayan lama. Bapak kos bersikukuh tak mau menaikkan penawaran, sebaliknya penjual dipan juga sangat berhati hati menurunkan harga sedikit demi sedikit, meski tetap masih jauh dari limit pengajuan tawaran bapak kos. Akhirnya, tak ada yang mau mengalah, interaksi “perniagaan dipan” itu pun ditutup tanpa sebuah deal. Transaksi gagal. Sang bapak penjual dipan kembali melanjutkan langkahnya dengan kekecewaan yang sangat jelas terlihat dari raut muka dan bahasa tubuhnya ketika membalik gerobaknya dengan susah payah, dan melangkah beranjak meninggalkan rumah kos kami, mungkin kala itu langsung buyar angannya untuk pulang cepat sambil membawa uang.

Ada ketimpangan yang sangat mencolok di sini. Bapak kos, si calon pembeli itu, tanpa beban, santai saja kembali masuk rumah seperti tak terjadi apa-apa. Sementara bapak penjual dipan sangat kecewa, sebuah bagian dari kegagalan. Yah…, terang saja bagi bapak kos kejadian tadi cuma secuil kecil saja dari momen yang terjadi dalam hidupnya hari ini, suatu peristiwa yang mungkin tak terlalu berarti. Sebaliknya bagi Bapak tua penjual dipan, momen tadi bisa dipastikan adalah momen utama yang paling penting dan paling ditunggu dalam perjalanan hidupnya hari ini, momen yang seharusnya sangat menentukan. Anyway, the life must goes on.

Lalu power apa yang menyokong motivasi mereka selain rengekan anaknya yang menunggu di rumah? Mungkin saja diantara mereka memiliki power untuk selalu bergerak tak kenal ampun pada diri sendiri menjadi kekuatan tersendiri yang ampuh menerjang tuntutan hidupnya yang tanpa pilihan itu. Atau seperti sales kaus kaki tadi yang memiliki prinsip “Allah tahu apa yang kita kerjakan”. Bukankah kita memang mencari Ridho-Nya? Selalu melakukan sesuatu dengan kalimat sakral tersebut tetap lekat tertempel di jidat mungkin sama sekali nggak akan ada koruptor dan suap-suapan kali ya……

Terdapat 100 ayat dalam Al Qur’an (mohon dikoreksi jika kurang tepat) yang inti maknanya adalah memastikan bahwa “Allah maha mengetahui/melihat apa yang kita kerjakan/perbuat”. Dan kalimat itulah yang ternyata menjadi air lemon ice segar yang selalu dibawa-bawa para hard worker jalanan untuk mendinginkan kepala dan menyegarkan hati di bawah tusukan duri panas matahari dan guyuran pekat debu aspal kota. Good luck, God blesses.

0 comments:

Post a Comment

" ...yang kemudian hadir dan terjadi bukanlah suatu kebetulan yang sia-sia,

pertemuan dan perpisahan, ada dan tiada, jatuh dan bangun, tawa dan tangis, tampak dan samar, benar dan salah adalah berbentuk pertanyaan dan jawaban yang terdesain sedemikian rupa menjadi sebuah kepastian dan sama sekali bukan ke-tidak-pasti-an,


karenanya, karena hidup ini bukanlah suatu kebetulan, maka tidak ada alasan untuk meredupkan keyakinan demi memulai sesuatu dan lalu menyempurnakannya."


 
Template by: Abdul Munir